SEJARAH MANASIK
MASA NABI IBRAHIM AS :
1.
Sejarah Haji tidak bisa terlepas dari sejarah pembangunan Ka’bah seperti yang diperintahkan
Allah SWT kepada Nabi Ibrahim as. Ketika Nabi Ibrahim as. selesai membangun
Ka’bah, Allah SWT memerintahkannya untuk menyeru manusia agar melaksanakan
haji. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman, artinya, "Serukanlah kepada seluruh
manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan
berjalan kaki, mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru
yang jauh“. Nabi Ibrahim as berkata kepada Allah SWT, "Wahai Tuhan !
Bagaimana suaraku akan sampai kepada manusia yang jauh ?“, Allah SWT berfirman,
"Serulah ! Aku yang akan membuat suaramu sampai“.
2.
Kemudian Nabi Ibrahim as naik ke Jabal Qubays (sebuah bukit di selatan Ka’bah)
dan memasukkan jari tangannya ke telinganya sambil menghadapkan wajahnya ke
Timur dan Barat beliau berseru, "Wahai sekalian manusia telah diwajibkan
kepadamu menunaikan ibadah haji ke Baitul Atiq, maka sambutlah perintah Tuhanmu
Yang Maha Agung“. Seruan tersebut telah didengar oleh setiap yang berada dalam
sulbi laki-laki dan rahim wanita. Seruan itu disambut oleh orang yang telah
ditetapkan dalam ilmu Allah SWT bahwa ia akan melaksanakan haji, sampai hari
Kiamat mereka berkata, “LABBAIK ALLAAHUMMA LABBAIK”, artinya, "Telah saya
penuhi panggilan-Mu, Ya
Allah!
Telah saya penuhi panggilan-Mu“.
3.
Seusai Nabi Ibrahim as menyeru manusia untuk melaksanakan haji, malaikat Jibril
as mengajaknya pergi. Kepada beliau diperlihatkan bukit Safa, Marwah dan
perbatasan tanah Haram, lalu diperintahkan untuk menancapkan batu-batu
pertanda. Ibrahim as adalah orang yang pertama menegakkan batasan tanah Haram
setelah ditunjukkan oleh
malaikat
Jibril as. Pada tanggal 7 Zulhijah, Nabi Ibrahim as berkhutbah di Mekah ketika matahari
condong ke Barat (tergelincir), sementara Nabi Ismail as duduk mendengarkan. Pada
esok harinya, keduanya keluar berjalan kaki sambil bertalbiyah dalam keadaan berihram.
Masing-masing membawa bekal makanan dan tongkat untuk bersandar. Hari
itu
dinamakan hari Tarwiah. Di Mina, keduanya melaksanakan salat Zuhur, Asar,
Magrib, Isya dan Subuh. Mereka
tinggal
di sebelah kanan Mina sampai terbit matahari dari gunung Tsubair (waktu Dhuha),
kemudian keduanya keluar Mina menuju Arafah. Malaikat Jibril as menyertai
mereka berdua sambil menunjukkan tanda-tanda batas sampai akhirnya mereka tiba
di Namirah. Malaikat Jibril as menunjukkan pula tanda-tanda batas Arafah. Nabi
Ibrahim as sudah mengetahui sebelumnya lalu berkata, : عَرَفْتُ ,artinya: “Aku sudah mengetahui”, maka daerah itu dinamakan
Arafah.
4.
Ketika tergelincir matahari, malaikat Jibril as bersama keduanya menuju suatu
tempat (sekarang tempat berdirinya Masjid Namirah), kemudian Nabi Ibrahim as
berkhutbah dan Nabi Ismail as duduk mendengarkan, lalu mereka salat jamak
taqdim Zuhur dan Asar. Kemudian malaikat Jibril as mengangkat keduanya ke bukit
dan mereka berdua berdiri
sambil
berdoa hingga terbenam matahari dan hilang cahaya merah. Kemudian mereka meninggalkan
Arafah berjalan kaki hingga tiba di Juma‘ (daerah Muzdalifah sekarang). Mereka
salat Maghrib dan Isya di sana, sekarang tempat jamaah haji melaksanakan salat.
Mereka
bermalam di sana hingga terbit fajar keduanya diam di Quzah. Sebelum terbit matahari,
mereka berjalan kaki hingga tiba di Muhassir. Di tempat ini mereka mempercepat
langkahnya. Ketika sudah melewati Muhassir, mereka berjalan seperti sebelumnya.
Ketika tiba di tempat jumrah, mereka melontar jumrah Aqabah tujuh kerikil yang
dibawa dari Juma'. Kemudian mereka tinggal di Mina pada sebelah kanannya, lalu keduanya
menyembelih hewan kurban di tempat sembelihan. Setelah itu memotong rambut dan
tinggal beberapa hari di Mina untuk melontar tiga jumrah pulang bali saat matahari
mulai naik. Pada hari Shadr, mereka keluar untuk salat Zuhur di Abthah. Itulah ritual
ibadah haji yang ditunjukkan oleh malaikat Jibril as sesuai permintaan Nabi
Ibrahim as, ".....tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat
ibadah haji kami...." (QS Al Baqarah : 128).
5.
Sejarah Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as di MakkahPERINTAH ibadah haji
sebagai seruan Nabi Ibrahim as dilakukan segera setelah Ibrahim as beserta
putranya Ismail as menyelesaikan pembangunan Ka’bah. "Monumen" bagi keduanya
kini adalah Maqam Ibrahim dan Hijr Ismail. Pembangunan Baitullah ini dilakukan
oleh Ibrahim as ketika beliau datang ke Mekah untuk yang kelima kalinya sekaligus
yang terakhir. Lalu saat peristiwa apa saja Ibrahim as ke Makkahh ?
Pertama
: Mengantar Siti Hajar dan Ismail
Ibrahim
as, Siti Hajar, dan Ismail as berangkat dari Hebron bergerak ke arah tenggara menyusuri
rute kafilah yang dikenal sebagai rute wewangian (incense route) sejauh 1.200 km
dan tiba di lembah tandus pegunungan Sirat yang puncak-puncaknya meliputi Jabal
Ajyad, Jabal Qubais, Jabal Qu'aiq'an, Jabal Hiro, dan Jabal Tsur. Lembah itu
bernama Bakkah (Mekah). Siti Hajar dan Ismail as diantarkan ke Mekah karena
istri tua Ibrahim Siti Sarah mencemburui Hajar yang telah memberikan putra
kepada Ibrahim. Atas perintah Allah SWT Siti Hajar dan putranya ditinggal di
bawah sebuah pohon oleh Ibrahim as yang kembali ke Palestina menemui Sarah.
Nabi Ibrahim as berdoa menengadahkan tangan, menyebut nama Allah, menitipkan
Siti Hajar dan Ismail as di bawah perlindungan dan
keselamatan
Allah SWT.
Saat
air susu habis dan tak ada air, Siti Hajar menaiki bukit Shafa mencari air
untuk putranya atau kalau-kalau ada kafilah yang dapat membantu. Ketika tak ada
siapapun yang lewat, Siti Hajar berjalan menuruni bukit, lembah, dan mendaki ke
bukit Marwah. Melihat ke sekeliling namun tak ada apa-apa pula. Tujuh kali
balik dilakukan, hingga
akhirnya
Allah mengeluarkan air zamzam di tempat Ismail ditinggalkan. Kelak inilah yang mendasari
prosesi haji yang bernama Sai.
Kedua:
Menyembelih Ismail as
Saat
Ismail berusia 11-12 tahun, Ibrahim as menemui keluarganya di Mekah yang telah berubah
dibandingkan situasi saat pertama datang. Baru saja melepas rindu, Allah SWT. memerintahkan
melalui mimpi agar menyembelih Ismail as.
Meskipun
mengalami kegalauan, namun akhirnya berkat ketaatan Ibrahim as dan kesabaran
Ismail as, "yaa abati af'al maa tu'maru" - wahai ayahku kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu, maka perintah itu dapat dilaksanakan. Allah pun
menggantikannya dengan sembelihan Qibas (salah satu jenis kambing).
Soal
ujian pengorbanan dalam bentuk apapun, Allah sebenarnya tidak
bermaksudmenganiaya hamba-hamba-Nya, melainkan sekadar "sarana" untuk
meningkatkan mutu keimanan dan amal salehnya semata. Dalam ibadah haji,
penyembelihan hewan "hadyu" ini dilaksanakan setelah Jumratul Aqabah
atau pada hari-hari tasyrik.
Ketiga:
Mengganti palang pintu rumah
Setelah
Ismail as berumah tangga dengan memperistri wanita dari suku Jurhum dan Siti
Hajar telah meninggal, Ibrahim as datang bersilaturahmi. Namun tidak bertemu
dengan putranya karena sedang berburu dalam waktu yang cukup lama. Hanya
menantunya yang ada, namun Ibrahim merahasiakan identitas dirinya. Ketika
ditanyakan bagaimana keadaan rumah tangga mereka, istri Ismail as tersebut
mengeluh tentang kesulitan dan kemiskinan hidup mereka, serta tak ada kebahagiaan
sama sekali. Ketika pamit, Ibrahim berpesan kepada menantunya jika Ismail
pulang sampaikan salam dan disarankan agar mengganti palang pintu rumahnya.
Ketika Ismail as kembali, lalu mendengar cerita istrinya tentang kedatangan
tamu beserta pesan-pesannya itu, maka Nabi Ismail as mengerti.
Kemudian
ia segera menceraikan istrinya yang dinilai rewel, tak bersyukur atas nikmat
yang Allah berikan, tidak sabar, serta tidak menghargai usaha suaminya tersebut.
Keempat:
Mempertahankan palang pintu rumah
Setahun
setelah kedatangan ketiga, Ibrahim as datang lagi ke Mekah untuk menemui
putranya, lagi-lagi tak bertemu. Hanya istri Ismail as yang baru yang ditemui.
Ia adalah putri sekh suku Jurhum yang bernama As Sayyidah binti Madad bin Amr.
Sebagaimana yang lalu, Ibrahim as yang menyembunyikan identitas dirinya,
menanyakan pula keadaan rumah tangga mereka.
Ibrahim
berdoa "Ya Allah berkahi daging dan air mereka." (HR Bukhori). Seraya
berpesan apabila suaminya pulang nanti agar palang pintunya tak perlu diganti. Demikianlah
istri saleh yang senantiasa bersyukur dan tak pernah mengeluh atas hasil usaha
suaminya.
Meskipun
kedatangan ketiga dan keempat tidak berhubungan dengan ibadah haji, namun
bangunan rumah tangga merupakan indikator kesuksesan haji. Hal ini sejalan dengan
doa agar sekembalinya dari melaksanakan ibadah haji senantiasa mendapat perlindungan
Allah dari "suu il munqolabi fiil maali wal ahli" (kejelekan harta
dan keluarga).
Kelima:
Membangun Ka’bah
Tanah
yang menggunduk agak tinggi dekat sumur zamzam adalah lokasi pilihan "Ini adalah
tempat yang dipilih Allah," kata Ibrahim as kepada Ismail as (HR Bukhari),
lalu keduanya membangun Ka’bah itu. Berbeda dengan bangunan Ka’bah sekarang,
dahulu Ka’bah lebih pendek, tak berpintu, serta memanjang meliputi Hijr Ismail
sekarang. Ada dua batu istimewa dalam proses pembangunan tersebut, yaitu Hajar
al Aswad dan Maqam Ibrahim. Nantinya dalam ritual haji Hajar Aswad menjadi
tempat mengawali dan mengakhiri tawaf. Setiap melewatinya mengecup atau
ber-istilam. Adapun setelah tawaf, jemaah haji mesti salat 2 (dua) rakaat di
belakang Maqam Ibrahim. Allah SWT pun berfirman, "dan sucikanlah rumah-Ku
ini bagi orang-orang yang tawaf, orang-orang yang beribadah, dan orang-orang
yang ruku-sujud." (QS Al Hajj 26).
Kita
mengira bahwa Ibrahim as akan meluangkan waktu panjang di Mekah, namun nyatanya
tidak, setelah Ka’bah dibangun, Ibrahim as kembali ke Bersyeba Palestina. Sebelumnya
itu, Allah menyuruh Ibrahim as untuk mengumumkan kewajiban ibadah haji,
berziarah ke Baitullah dengan tata cara (manasik) yang diajarkan Allah kepada
Ibrahim
a.s, ".....tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji
kami...." (QS Al-Baqarah :128) dan Allah berfirman, "serulah kepada
manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang dengan berjalan
kaki, mengendarai unta kurus, datang dari segenap penjuru yang jauh".
MASA NABI MUHAMMAD SAW
1. Dari segi sejarah, ibadah haji seperti yang sekarang ini merupakan
syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai langkah memperbaharui dan
menyambung ajaran Nabi Allah Ibrahim as. Ibadah haji mula diwajibkan ke atas
umat Islam pada tahun ke-6 Hijrah, mengikuti turunnya QS Al-Imran 97, artinya :
“..... mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)
orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam”.
Pada
tahun tersebut, Rasulullah SAW bersama-sama lebih kurang 1500 orang berangkatke
Makkah untuk menunaikan fardhu haji tetapi tidak dapat mengerjakannya karena dihalangi
oleh kaum kafir Quraisy sehingga melahirkan satu perjanjian yang dinamakan Perjanjian
Hudaibiah. Perjanjian itu membuka jalan bagi perkembangan Islam di mana pada
tahun berikutnya ( tahun ke-7 Hijrah ), Rasulullah telah mengerjakan Umrah bersama-sama
2000 orang umat Islam. Pada tahun ke-9 Hijrah, barulah ibadah Haji dapat
dikerjakan di mana Rasulullah SAW menyerahkan kepada Saidina Abu Bakar Ash-Shiddiq
untuk memimpin 300 orang umat Islam mengerjakan haji.
2.
Rasulullah SAW
mengerjakan haji
Nabi
Muhammad SAW telah menunaikan fardhu haji sekali saja dan umroh 4 kali semasa
hayatnya. Haji itu dinamakan Hijjatul Wada/ Hijjatul Balagh/ Hijjatul Islam
atau Hijjatuttamam Wal Kamal kerana
selepas haji itu tidak berapa lama kemudian beliau pun wafat. Beliau berangkat
dari Madinatul Munawwarah pada hari Sabtu, 25 Zulqo’dah tahun 10 Hijrah bersama
isteri dan sahabat-sahabatnya bersama kurang lebih 90,000 orang Islam. Setelah
menginap satu malam di Zulhulaifah, sekarang dikenali dengan nama Bir Ali, 10
km dari Madinah, esoknya Nabi mengenakan pakaian ihram diikuti seluruh anggota
rombongan. Mereka berjalan bersama-sama dengan pakaian putih yang sederhana,
perlambang kesederhanaan dan persamaan yang amat jelas.
Dengan
seluruh kalbu Muhammad SAW menengadahkan wajahnya kepada Tuhan sembari
mengucapkan talbiyah sebagai tanda syukur atas nikmat karunia-Nya diikuti kaum
muslimin di belakangnya: "Labbaik Allahumma Labbaik,Labbaika laa syarikka
laka labbaik, Innal haamda wanni'mata laka wal mulk Laa syariika laka“, artinya
: "Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku datang memenuhi
panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Nya, Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu.
Sesungguhnya segala puji dan kebesaran untuk-Mu semata-mata.Segenap kerajaan
untuk-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu”.Di bawah sengatan matahari gurun, di padang
pasir yang tidak dikenal banyak umat, bergerak arus manusia dan kafilah menuju
satu titik. Mereka menyambut panggilan Nabi Ibrahim as beberapa abad silam.
Tidak ada peristiwa yang membedakan seseorang dengan lainnya. Tidak pula
perbedaan ras, bangsa atau warna kulit. Sesungguhnya, inilah pemandangan paling
indah tentang asas persamaan bahwa semua makhluk sama di depan Tuhan. Yang
membedakan, hanya kadar iman dan takwa seseorang. Mereka memenuhi seruan Nabi
untuk saling mengenal, merajut kasih sayang, keikhlasan hati dan semangat
ukhuwah islamiah. Dengan penuh kesabaran pula mereka menanti tibanya Haji
Akbar, dan rasa rindu bertemu Baitullah, dengan jantung berdegup keras.
Pada
tanggal 4 Dzulhijjah rombongan masuk Makkah, selanjutnya Nabi menuju Ka’bah, melakukan
thawaf dan mencium Hajar Aswad. Sesudah tawaf, Nabi shalat dua rakaat di Maqam
Ibrahim, lalu mencium Hajar Aswad untuk kedua kalinya. Kemudian menghadapkan
wajahnya ke arah bukit Shafa, lalu lari-lari kecil antara bukit Shafa dan bukit
Marwah. Di situ dimaklumatkan barangsiapa yang tidak membawa hadyu (ternak kurban
untuk disembelih) hendaknya mengakhiri ihramnya (tahallul) dan menjadikan ibadah
itu sebagai umrah. Awalnya maklumat itu dilaksanakan tanpa sepenuh hati. Nabi marah,
sampai-sampai beliau kembali ke kemahnya. "Bagaimana aku tidak marah, aku menyuruh
mereka melakukan sesuatu, tapi mereka tidak menaatiku," jawab Nabi atas pertanyaan
Aisyah. Namun akhirnya seluruh rombongan menyesali perbuatannya.Mereka segera
ber-tahallul seperti yang dilakukan Fathimah putri Nabi, dan semua istrinya.
Hari
ke-8 Zulhijjah yaitu Hari Tarwiyah, beliau pergi ke Mina bersama rombongannya. Selama
satu hari melakukan shalat dan tinggal bersama kaumnya. Malamnya di saat sang fajar
menyembul setelah Shalat Subuh, dengan menunggang untanya al-Qashwa’, tatkala matahari
mulai tampak, beliau menuju Padang Arafah. Dalam perjalanan yang diikuti ribuan
muslim yang mengucapkan talbiyah dan bertakbir, Nabi mendengarkan dan membiarkan
mereka dalam kekhusyu’an. Pada tanggal 09 Zulhijjah yang jatuh pada hari Jumaat,
Rasulullah SAW melakukan wukuf di Arafah. Ketika berada di perut wadi
dibilangan Urana, masih di atas unta, Nabi berdiri dan berkhutbah di depan
lebih 90.000 orang yang mengelilinginya. Itulah peristiwa bersejarah yang
dikenal dengan julukan “Al-Hijjatul Wada” atau “Haji Perpisahan’. Peristiwa
yang begitu mengesankan dan indah, serta merupakan khulasha (kesimpulan) ajaran
Islam dan sunnahnya yang ia wariskan kepada masyarakat Islam. Khutbah
berlangsung di bawah panas matahari yang mampu membakar ubun-ubun, dan
didengarkan dengan khidmat. Kepada Umayyah bin Rabi’ah bin Khalaf diminta
mengulang keras setiap kalimat yang beliau sampaikan, agar didengar di tempat
yang jauh. Sore harinya, rombongan Rasulullah SAW bergerak ke arah Muzdalifah
untuk bermalam di sana. Menjelang fajar, rombongan menuju ke Mina untuk melakukan
pelemparan jumroh kubro (Aqabah), menyembelih ternak kurban. Kemudian menuju
Baitullah untuk melaksanakan thawaf Ifadha’ dan kembali lagi ke Mina untuk melanjutkan
pelemparan jumroh.
Catatan
: melempar jumrah berawal dari mimpi Nabi Ibrahim as yang diperintah untuk menyembelih
putranya Ismail as, dimana pada awalnya beliau tidak percaya akan mimpi itu,
namun karena selalu datang berturut-turut, karena yakin akan kebenaran mimpi
itu Ibrahim as melaksanakan perintah itu dengan membawa Ismail as melewati tiga
tempat dimana beliau diganggu agar mengurungkan niatnya, namun atas petunjuk
Allah diketahui bahwa mereka yang mengganggu adalah syetan, sampai Ibrahim as
melempar batu di tiga tempat itu. Dalam rangkaian ibadah haji dikenal dengan
Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah.
Rasulullah
SAW telah menyempurnakan semua rukun dan wajib haji hingga tanggal 13 Zulhijjah.
Dan pada tanggal 14 Zulhijjah, Rasulullah SAW berangkat meninggalkan Makkah
Al-Mukarramah kembali menuju Madinah Al-Munawwarah.
PERISTIWA SAAT HAJJI WADA
Di
masa wukuf terdapat beberapa peristiwa penting yang bisa dijadikan pegangan dan
panduan umat Islam terhadap suatu masalah, di antaranya adalah :
a. Rasulullah SAW minum susu di atas unta supaya dilihat oleh orang
ramai bahwa pada hari Arafah itu beliau tidak berpuasa, namun membolehkan umat
Islam berpuasa sunat.
b.
Seorang sahabat
jatuh dari binatang tunganggannya lalu mati, Rasulullah SAWmenyuruh supaya
mayat itu dikafankan dengan 2 kain ihram dan tidak membenarkan kepalanya
ditutup atau diwangikan jasad dan kafannya. Sabda beliau pada ketika itu bahawa
"Sahabat itu akan dibangkitkan pada hari kiamat di dalam keadaan berihram
dan bertalbiyah".
c.
Rasulullah SAW
menjawab pertanyaan seorang ahli Najdi : "Apakah Haji itu ?". Beliau menjawab,
artinya : " Haji itu berhenti di Arafah". Siapa tiba di Arafah
sebelum naik fajar 10 Zulhijjah maka ia telah melaksanakan haji.
d. Turunnya ayat suci Al-Quranul Karim surat Al-Maaidah ayat 3 : “Al
yauma akmaltu lakum diinakum, wa atmamtu ‘alaikum ni’matii, wa radhiitu lakumul
islaama dinan …”, yang artinya : " Pada hari ini telah Ku-sempurnakan
untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan aku telah ridha Islam
itu menjadi agamamu ….“. (Ayat ini turun ketika Rasulullah SAW masih berada di
atas onta beliau di kaki Jabal Rahmah, suatu bukit di padang Arafah)
------
DASAR HUKUM
KEWAJIBAN HAJI
QS
Al-Imran 97, artinya : “..... mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.
QS
Al-Hajj ayat 27-28, artinya : “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan
haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai
unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka
menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah
pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada
mereka berupa binatang ternak”.
Rasulullah
SAW bersabda : “Hendaklah kamu bersegera mengerjakan haji karena sesungguhnya
seseorang tidak akan menyadari halangan yang akan merintanginya”. (HR Ahmad).
Rasulullah
SAW bersabda : “Islam itu didirikan di atas 5 (lima) pilar : syahadat,
mendirikan shalat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji ke
Baitullah”. (HR Bukhari & Muslim)
Dari
Umar bin Khathab, ia berkata : “Aku bertekad mengutus beberapa orang menuju
wilayah-wilayah ini untuk meneliti siapa yang memiliki cukup harta namun tidak
menunaikan haji, agar diwajibkan atas mereka membayar jizyah. Mereka bukanlah
muslim. Mereka bukanlah muslim”. (HR Al Baihaqi dan Said di Sunan-nya)
Rasulullah
SAW bersabda : “Barangsiapa tidak tertahan oleh kebutuhan mendesak, atau sakit
yang menahannya, atau larangan dari penguasa yang zhalim, kemudian tidak
menunaikan haji, hendaklah ia mati dalam keadaan menjadi orang Yahudi jika ia
mau, dan jika mau maka menjadi orang Nasrani”. (HR Ahmad, Abu Ya’la dan
Al-Baihaqi. Hadits ini dhaif namun mempunyai penguat)
Rasulullah
SAW bersabda : “ Haji itu sekali dan barangsiapa melakukannya lebih dari sekali
maka itu sunnah”. (HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim)
HIKMAH HAJI
Rasulullah
SAW bersabda : “Barangsiapa haji ke rumah ini (Baitullah), kemudian tidak
berkata kotor, dan tidak fasik, ia keluar dari dosa-dosanya seperti hari ia
dilahirkan ibunya”. (Muttafaq Alaih)
Rasulullah
SAW bersabda : “Umrah ke umrah lainnya adalah penghapus dosa-dosa diantara
keduanya dan haji yang mabrur tidak mempunyai balasan kecuali surga”. (HR
Bukhari)
Rasulullah
SAW bersabda : “Haji yang mabrur tidak mempunyai balasan, melainkan surga”.
(Muttafaq Alaih)
Rasulullah
SAW bersabda : “Amal perbuatan yang paling utama ialah beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian jihad di jalan-Nya, kemudian haji yang mabrur”. (Muttafaq
Alaih)
Rasulullah
SAW bersabda : “Jihad orang yang telah lanjut usia, orang lemah, dan wanita
adalah haji yang mabrur”. (HR An-Nasai)
Catatan
: HAJI MABRUR adalah haji yang bersih dari semua dosa dan penuh dengan kebaikan
MIQAT secara harfiah berarti batas yaitu garis demarkasi atau garis batas
antara boleh atau tidak,atau perintah mulai atau berhenti, yaitu kapan mulai
melafadzkan niat dan maksud melintasi batas antara Tanah Biasa dengan Tanah
Suci (Tanah Haram). Sewaktu memasuki Tanah Suci itulah semua jama'ah harus
berpakaian Ihram dan mengetuk pintu perbatasan yang dijaga oleh penghuni - penghuni
surga. Ketuk pintu atau salam itulah yang harus diucapkan dengan talbiyah dan
dalam keadaan berpakaian Ihram. Miqat yang dimulai dengan pemakaian pakaian
ihram harus dilakukan sebelum melintasi batas - batas yang dimaksud. Miqat
dibedakan atas dua macam yaitu : Miqat Zamani (batas waktu) dan Miqat Makani (batas letak tanah).
MIQAT ZAMANI
Adalah
Miqat yang berhubungan dengan batas waktu, yaitu kapan atau pada tanggal dan
bulan apa hitungan Haji itu. Miqat Zamani disebut dalam Al-Qur'an dalam surat
Al-Baqarah ayat 189 dan 197.
Ayat
pertama menjelaskan kedudukan bulan sabit sebagai tanda waktu bagi manusia dan
Miqat bagi jama'ah haji. Ayat kedua menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan
Bulan - Bulan Haji atau waktu haji adalah beberapa bulan tertentu. Para Ulama
sepakat bahwa bulan yang dimaksud adalah bulan Syawwal, Zulkaidah dan Zulhijah.
Yaitu mulai dari tanggal 1 Syawal s/d 10 Zulhijah. yang jumlah keseluruhannya adalah
69 hari. akan tetapi untuk bulan Zulhijah masih ada perbedaan pendapat apakah
seluruh atau sebagian saja.
MIQAT MAKANI
Yaitu
miqat berdasarkan peta atau batas tanah geografis, tempat seseorang harus mulai
menggunakan pakaian Ihram untuk melintas batas tanah suci dan berniat hendak
melaksanakan Ibadah Haji atau Umrah. Miqat Makani antara lain:
1. Bier Ali (disebut juga Zulhulayfah), letaknya sekitar 12 km dari
Madinah, merupakan miqat bagi orang yang datang dari arah Madinah.
2.
Al-Juhfah,
suatu tempat yang terletak antara Mekah dan Madinah, sekitar 187 km dari Mekah,
dan merupakan miqat bagi jama'ah yang datang dari Syam (Suriah), Mesir dan
Maroko atau yang searah. Setelah hilangnya ciri - ciri Al-juhfah, miqat ini
diganti dengan miqat lainnya yakni Rabigh, yang berjarak 204 km dari Mekah.
3.
Yalamlam,
sebuah bukit di sebelah selatan 54 km dari Mekah, merupakan miqat bagi jama'ah
yang datang dari arah Yaman dan Asia.
4.
Qarnul Manazil,
sebuah bukit di sebelah Timur 94 km dari Mekah.
5. Zatu Irqin, suatu tempat Miqat yang terletak di sebelah utara
Mekah, berjarak 94 km dari Mekah, merupakan miqat bagi jama'ah dari Iraq dan
yang searah.
Semua
Miqat ditetapkan langsung oleh Nabi sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis
Bukhari, Muslim dll. Namun untuk miqat Zatu Irqin terdapat dua riwayat. Menurt
Bukhari miqat ini ditetapkan oleh Umar bin Khatab, sedangkan menurut riwayat
Abu Daud miqat ini ditetapkan oleh Rasulallah. Sebuah Miqat berlaku bagi
orang-orang yang berdomisili didaerah itu dan lainnya yang dalam perjalanannya
di Mekah melalui tempat itu. Bagi penduduk Mekkah maka tempat ia mulai Ihram
adalah pintu rumahnya.
TALBIYAH
Bacaan
yang dianjurkan secara terus menerus dilafadzkan sesuai dengan kemampuan masing
– masing jama'ah, dimulai setelah berihram dari Miqat dan berhenti membaca
Talbiyah apabila sudah mulai tawaf untuk ibadah Umrah atau sesudah Tahallul
awal bagi Ibadah Haji. Adapun Teks Talbiyah adalah sebagai berikut :
"Labbaik
Allahumma Labbaik,Labbaika laa syarikka laka labbaik, Innal haamda wanni'mata laka
wal mulk Laa syariika laka“, artinya : "Aku datang memenuhi panggilan-Mu
ya Allah, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Nya, Ya Allah
aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan kebesaran untuk-Mu
semata- ata. Segenap kerajaan untuk-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu“.
Talbiyah
hukumnya Sunat, kecuali menurut Maliki, mazhab ini memandangnya wajib.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, dinilai sebagai Syarat, sehingga siapa yang
meninggalkan Talbiyah diwajibkan membayar Dam. Talbiyah hendaknya dilantunkan
selama jama'ah masih dalam keadaan Ihram.
Talbiyah
disunatkan pula dibaca sewaktu berpapasan dengan rombongan jama'ah lain atau
ketika menjalani perubahan keadaan, misalnya ketika naik atau turun dari
gunung/bukit, naik atau turun dari kendaraan,bertemu kawan atau seusai shalat.
Bagi laki-laki disunatkan mengeraskan suara Talbiyahnya, sedangkan bagi wanita
cukup didengar sendiri dan yang berada di sampingnya. Hal ini didasarkan atas hadis
Nabi yang berbunyi : "Jibril telah datang kepadaKu, lalu ia berkata : Hai
Muhamad ! Suruhlah shabat - sahabatmu itu untuk mengeraskan suara Talbiyahnya,
sebab dia itu salah satu dari syi'ar Haji" (HR Ahmad dan Ibnu Majah)
UMRAH
Umrah
disebut Hajjul Ashghar (Haji Kecil), kata ini berasal dari kata i`timaar (kata
berimbuhan).
HUKUM
UMROH
Wajib,
yaitu bagi yang pertama kali melaksanakan umrah bersamaan dengan ibadah haji
yang pertama kali, serta orang yang bernadzar Sunat, yaitu bagi orang yang
sudah pernah melaksanakan umroah pertama kali bersamaan dengan ibadah haji
SYARAT
SAHNYA UMRAH : Islam, baligh, berakal sehat, merdeka, mampu melaksanakannya
RUKUN
UMRAH (rangkaian kegiatan yang apabila ditinggalkan tidak sah ibadahnya)
1. Ihram, yaitu mengenakan pakaian Ihram dengan niat untuk umroh,
dimulai dari Miqat Makani
2.
Thawaf
(berjalan mengelilingi Ka’bah 7 kali )
3.
Sa‘i
4.
Tahallul
(menggunting rambut sekaligus sebagai tanda berakhirnya larangan Ihram))
5. Tertib
WAJIB
UMRAH (sebagai pelengkap rukun umrah, bila ditinggalkan harus membayar
denda/dam)
1. Niat Ihram di Miqat
۔
Mandi Ihram
(seperti mandi junub)
۔
Shalat sunnah 2
raka’at
۔
Niat Umrah :
“Labbaik Allaahumma Umratan”
2. Meninggalkan perkara-perkara yang dilarang pada saat berIhram
Yang
dimaksud rukun haji adalah kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah haji yang
jika tidak dikerjakan maka hajinya tidak syah. Adapun rukun haji adalah sebagai
berikut :
1. Ihram, Yaitu mengenakan pakaian ihram dengan niat untuk haji atau
umrah di Miqat Makani
2.
Wukuf di
Arafah, yaitu berdiam diri, zikir dan berdo'a di Arafah pada tanggal 9
Dzulhijjah
3.
Tawaf Ifadloh,
Yaitu mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dilakukan sesudah melontar jumrah
Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah.
4.
Sa'i, yaitu
berjalan atau berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali,
dilakukan sesudah Tawaf Ifadah.
5.
Tahallul, yaitu
bercukur atau menggunting rambut sesudah selesai melaksanakan Sa‘i atau selesai
lempar jumroh Aqabah tanggal 10 Dzulhijjah.
6. Tertib, yaitu mengerjakannya sesuai dengan urutannya serta tidak
ada yang tertinggal
WAJIB HAJI
Wajib Haji, Adalah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam
ibadah haji sebagai pelengkap Rukun Haji, yang jika tidak dikerjakan harus
membayar dam (denda). Yang termasuk wajib haji adalah :
1. Niat Ihram, untuk haji atau umrah dari Miqat Makani, dilakukan
setelah berpakaian ihram
2.
Mabit
(bermalam) di Muzdalifah pada tanggal 10 Dulhijjah (dalam perjalanan dari
Arafah ke Mina)
3.
Melontar Jumrah
Aqabah tanggal 10 DZulhijjah
4.
Mabit di Mina
pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah)
5.
Melontar Jumrah
Ula, Wustha dan Aqabah pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah).
6.
Tawaf Wada',
Yaitu melakukan tawaf perpisahan sebelum meninggalkan kota Mekah
7. Meninggalkan perbuatan yang dilarang waktu ihram
-----
MACAM-MACAM HAJI
HAJI IFRAD
Yaitu
Melaksanakan secara terpisah antara haji dan umrah, dimana masing-masing
dikerjakan tersendiri, dalam waktu berbeda tetapi tetap dilakukan dalam satu
musim haji. Pelaksanaan ibadah Haji dilakukan terlebih dahulu selanjutnya
melakukan Umrah dalam satu musim haji atau waktu haji.
Dibatas
miqat sebelum memasuki Mekah jemaah haji harus sudah memakai pakaian ihram
serta niat untuk melaksanakan "Ibadah Haji" sekaligus "Ibadah
Umrah". Jama'ah harus tetap berpakaian ihram sampai selesai melaksanakan
kedua ibadah tersebut yaitu sejak tiba di Mekah sampai lepas hari Arafah 9
Zulhijah. Selama memakai pakaian ihram segala larangan harus ditaati dan
jema'ah yang memilih haji ifrad disunatkan melakukan Tawaf Qudum, yaitu tawaf
sunat saat baru tiba di Mekah. Haji Ifrad memang paling berat tetapi juga
paling tinggi kualitasnya karena itu yang melaksanakan Haji Ifrad tidak
dikenakan Dam atau denda
HAJI QIRAN
Yaitu
Melaksanakan Ibadah Haji dan Umrah secara bersamaan, dengan demikian prosesi
tawaf, Sa'i dan tahallul untuk Haji dan Umrah dilakukan satu kali atau
sekaligus. Karena kemudahan itulah Jema'ah dikenakan "Dam" atau
denda, yaitu menyembelih seekor kambing atau bila tidak mampu dapat berpuasa 10
hari. Bagi yang melaksanakan Haji Qiran disunnatkan melakukan tawaf Qudum saat
baru tiba di Mekah.
Miqat
bagi jema'ah yang berada di Madinah ialah Bir Ali (Zulhulaifah). Sedangkan bagi
jema'ah yang sudah berada di Mekah miqatnya dapat dilakukan di Tan'im atau
Ji'ranah. Bagi yang datang ke Mekah pada hari yang mepet ke tanggal 9 Zulhijah,
Miqatnya dapat dilakukan diatas pesawat saat melintas daerah miqat.
HAJI TAMATTU’
Tamattu’
artinya bersenang-senang adalah melaksanakan Ibadah Umrah terlebih dahulu dan
setelah itu baru melakukan Ibadah Haji.Setelah selesai melaksanakan Ibadah
Umrah yaitu : Ihram, tawaf, Sa'I jamaah boleh langsung tahallul, sehingga
jama'ah sudah bisa melepas ihramnya. Selanjutnya jama'ah tinggal menunggu
tanggal 8 Zulhijah untuk memakai pakaian Ihram kembali dan berpantangan lagi
untuk melaksanakan Ibadah Haji. Karena kemudahan itulah Jema'ah dikenakan "Dam"
atau denda, yaitu menyembelih seekor kambing atau bila tidak mampu dapat berpuasa
10 hari. 3 hari di Tanah Suci, 7 hari di Tanah Air.
Bagi
jema'ah yang lebih awal berada di Madinah persiapan ihramnya dilaksanakan di
Madinah sedangkan Miqatnya dilakukan di Bir Ali (Zulhulaifah), di jalan raya
menuju Mekah sekitar 12 KM dari kota Madinah. Sedangkan bagi jema'ah yang
datang belakangan dan langsung ke Mekah miqatnya dapat dilakukan di pesawat
udara saat melintas batas miqat. Persiapan Ihram untuk ibadah Umrah sebaiknya
dilakukan di tanah air sebelum berangkat.
TAMATTU'
dan QIRAN dikerjakan oleh orang yang tidak bertempat tinggal di tanah haram.
Adapun orang yang bertempat tinggal di tanah haram, maka ia mengerjakan IFRAD.
Orang
yang datang dari luar tanah haram yang dalam istilah fiqh disebut AFAQI ada dua
macam, yaitu:
۔
Yang datang dengan
membawa serta kambing atau binatang HADYU, ia harus mengerjakan QIRAN.
۔
Yang datang
dengan tidak membawa serta hadyu, dan ini yang terbanyak, ia harus mengerjakan
QIRAN.
۔
Yang datang
dengan tidak membawa serta hadyu, dan ini yang terbanyak, ia harus mengerjakan TAMATTU'.
ADAB-ADAB SEBELUM MENUNAIKAN FARDHU HAJI
Setiap
amalan yang baik akan menjadi lebih sempurna dan diterima oleh Allah SWT, jika
dilakukan mengikut adab-adab tertentu. Dalam mengerjakan Haji, ulama telah
menggariskan beberapa adab sebelum menunaikan Haji yang perlu dipatuhi agar
dapatmemperoleh Haji yang mabrur. Adab-adab tersebut adalah :
1. Niat Yang Ikhlas
Ikhlas
di dalam niat adalah asas penerimaan segala ibadat . Ikhlas membersihkan jiwa
yang hendak menghdap Allah SWT dari segala penyakit nafsu, seperti : ria, ujub,
sombong dll
2.
Bertaubat Dari
Segala Dosa Dan Kezaliman
Hendaklah
bersungguh-sungguh bertaubat dari maksiat dan segala yang dibenci oleh Allah,
membiasakan lidah untuk mengucapkan istighfar dan berusaha serta berazam untuk
meninggalkan maksiat selama-lamanya
3.
Selesaikan
Hak-Hak Allah : Shalat, Zakat, Nazar, Kifarat, Fidyah
4.
Selesaikan
Hak-hak Manusia
۔
Meminta maaf
atas segala kekhilafan dan kesalahan
۔
Menyelesaikan
hutang-hutangnya, atau mewakilkannya kepada orang lain untuk ditunaikan
hutang-hutangnya itu
۔
Menyelesaikan
urusan-urusan yang masih belum terselesaikan dengan orang ataupun pihak lainnya
yang mempunyai urusan
۔
Mengembalikan
segala amanah yang masih dipegang kepada pemberi amanah
۔
Menyelesaikan
pembahagian harta pusaka dan hal-hal berkaitan dengannya, seperti wasiat, hibah
dan sebagainya
۔
Menulis wasiat
menyangkut hak-hak Allah maupun hak-hak kerabat/handai taulan
۔
Memberi bekal
untuk keluarga yang ditinggalkan untuk mencukupi kebutuhan sampai dengan kembali
dari menunaikan ibadah haji
5.
Mencari
Keridhaan
Berusaha
memperoleh keredhaan dengan cara berpamitan kepada : orang tua, suami, guru,
kerabat/keluarga, sahabat.
6.
Memperbaiki
diri ke arah yang lebih baik :
۔
Memahami maksud
dan tujuan haji haji
Membuang sifat-sifat buruk, keji.
Melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya Jangan menunggu
perubahan setelah sampai di Tanah Suci atau selepas selesai mengerjakan haji,
tetapi ubah diri kita dahulu dari sekarang mengikut hal-hal yang tersirat di
dalam maksud dan tujuan ibadah haji.
۔
Rajin ke masjid
untuk melaksanakan shalat berjamaah
۔
Banyak membaca
Al-Qur’an, berdoa dan beri’tikaf
7.
Biaya haji
berasal dari sumber yang halal, tidak mengandung syubhat
Imam
Syafi’I, Imam Malik, Imam Abu Hanifah mengenai harta haram untuk haji : “Sah
secara zahir, tetapi tidak mabrur dan jauh dari penerimaan/ridha Allah
SWT”.Imam Ahmad bin Hanbal : “Tidak sah hajinya dengan harta haram”.
8. Mempelajari kaifiah (cara-cara) mengerjakan haji dengan baik sesuai
Sunnah Rasulullah SAW, sebagaimana sabda beliau : “Pelajarilah manasik haji
dariku karena aku tidak tahu, mungkin aku tidak lagi bisa berhaji setelah tahun
ini….. “
IHRAM
Kesalahan
yang biasa dilakukan oleh sebagian jamaah haji adalah, bahwa mereka tidak ihram
ketika kapal mereka lewat di atas miqat atau lewat di atas tempat yang sejajar
dengan miqat, dan baru melaksanakan ihram saat sudah turun di Airport Jeddah.
Hal ini bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu alaihi wasallam dan
melanggar hukum-hukum Allah swt.
Jika
seseorang melakukan kesalahan ini lalu turun di Jeddah tanpa ihram, maka dia
wajib kembali ke miqat yang dilewatinya di atas udara lalu melakukan ihram dari
tempat tersebut. Jika tidak kembali dan hanya melakukan ihram dari Jeddah, maka
menurut kebanyakan ulama wajib baginya membayar fidyah dengan binatang yang di
sembelih di Makkah, dan seluruh dagingnya dibagikan kepada fuqara’ Makkah,
tidak boleh makan darinya atau menghadiahkan sebagian kepada orang kaya, karena
fidyah (binatang tersebut) berfungsi sebagai kaffarah (penghapus dosa).
THAWAF
1. Memulai thawaf dari sebelum Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Ini
merupakan perbuatan yang berlebih-lebihan dalam agama, yang dilarang oleh Nabi
shallallahu alaihi wasallam. Perbuatan ini, dalam beberapa segi, mirip seperti
memulai puasa Ramadhan sehari atau dua hari sebelum masuk bulan Ramadhan yang
jelas-jelas dilarang oleh Rasulullah SAW.
Adapun
pengakuan sebagian jamaah haji bahwa hal itu dilakukan sebagai upaya
kehati-hatian (ihtiyath), maka hal itu tidak bisa diterima, karena
kehati-hatian yang sebenarnya dan bermanfaat adalah mengikuti syari’at dan
tidak mendahului Allah dan Rasulnya
2.
Melakukan
thaawaf dalam keadan ramai dan berdesak-desakan, hanya mengelilingi bangunan
Ka’bah yang bersegi empat saja dan tidak mengelilingi Hijir Ismail, dimana
mereka masuk dari pintu Hijir Ismail dan keluar melalui pintu di seberangnya.
Hal ini merupakan kesalahan yang besar, dan tidak sah thawaf yang demikian,
karena berarti belummengelilingi seluruh Ka’bah tapi baru mengelilingi sebagian
saja
3.
Thawaf dengan
raml (jalan cepat) pada seluruh putaran
4. Berdesak-desakan untuk mencapai Hajar Aswad agar dapat menciumya,
sehingga kadang-kadang bisa menyebabkan saling caci maki dan pukul-memukul dan
ucapan-ucapan mungkar yang tak layak dilakukan di tempat yang suci ini,
Masjidil Haram. Hal ini bisa membatalkan thawaf, bahkan membatalkan haji secara
keseluruhan, sebagaimana firman Allah SWT :“(Musim) Haji adalah beberapa bulan
yang dimaklumi, maka barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu
untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasiq dan
berbantah-bantahan dalam melaksanakan haji”. (QS Al-Baqarah : 197)
KESALAHAN YANG SERING DILAKUKAN
1. Memulai thawaf dari sebelum Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Ini
merupakan perbuatan yang berlebih-lebihan dalam agama, yang dilarang oleh Nabi
shallallahu alaihi wasallam. Perbuatan ini, dalam beberapa segi, mirip seperti
memulai puasa Ramadhan sehari atau dua hari sebelum masuk bulan Ramadhan yang
jelas-jelas dilarang oleh Rasulullah SAW.
Adapun
pengakuan sebagian jamaah haji bahwa hal itu dilakukan sebagai upaya
kehati-hatian (ihtiyath), maka hal itu tidak bisa diterima, karena
kehati-hatian yang sebenarnya dan bermanfaat adalah mengikuti syari’at dan
tidak mendahului Allah dan Rasulnya
2.
Melakukan
thaawaf dalam keadan ramai dan berdesak-desakan, hanya mengelilingi bangunan
Ka’bah yang bersegi empat saja dan tidak mengelilingi Hijir Ismail, dimana
mereka masuk dari pintu Hijir Ismail dan keluar melalui pintu di seberangnya.
Hal ini merupakan kesalahan yang besar, dan tidak sah thawaf yang demikian,
karena berarti belum mengelilingi seluruh Ka’bah tapi baru mengelilingi
sebagian saja
3.
Thawaf dengan
raml (jalan cepat) pada seluruh putaran
4.
Berdesak-desakan
untuk mencapai Hajar Aswad agar dapat menciumya, sehingga kadang-kadang bisa
menyebabkan saling caci maki dan pukul-memukul dan ucapan-ucapan mungkar yang
tak layak dilakukan di tempat yang suci ini, Masjidil Haram. Hal ini bisa
membatalkan thawaf, bahkan membatalkan haji secara keseluruhan, sebagaimana
firman Allah SWT :
“(Musim)
Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, maka barangsiapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasiq dan berbantah-bantahan
dalam melaksanakan haji”. (QS Al-Baqarah : 197)
SHALAT SUNNAH THAWAF
Kesalahan
yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji di sini adalah angapan mereka, bahwa
shalat dua rakaat harus dilakukan dekat dengan Maqam Ibrahim, sehingga
terjadilah desakdesakan, menyakiti orang lain yang sedang thawaaf, dan
mengganggu jalannya thawaf mereka. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang
salah, karena shalat dua rakaat setelah thawaf sah dilakukan dimana saja di
Masjidil Haram; bisa di belakang Maqam Ibrahim sehingga posisi maqam Ibrahim
terletak antara dia dan Ka’bah meskipun agak jauh, bisa juga shalat di halaman
(lingkaran) masjid, atau bisa pula di serambi masjid, sehingga dapat terhindar
dari aniaya orang lain, tidak menyakiti orang lain dan tidak disakiti, dan
dapat shalat dengan khusyu’ serta tenang.
Kesalahan
yang lain; bahwa sebagian jamaah, setelah selesai melakukan shalat dua rakaat,
berdiri dan berdo’a ersama-sama dengan suara keras di bawah pimpinan komando
mereka, sehinga menggangu orang lain yang sedang shalat di belakang Maqam.
Padahal Allah Ta’ala telah berfirman : “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan
berendah diri dan suara lembut, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.” (qs Al-A’raf : 55)
SA’I
Kesalahan
yang biasa dilakukan oleh sebagian orang yang sedang melakukan sa’i di sini
adalah bahwa ketika naik ke bukit Shafa dan Marwa mereka menghadap Ka’bah,
bertakbir tiga kali dan mengangkat tangan sambil mengisyaratkan dengan tangan
mereka sebagaimana mereka lakukan dalam shalat, kemudian turun dari bukit. Hal
ini bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Untuk
itu, hendaknya mereka melakukan sesuai dengan sunnah jika mungkin, atau
meninggalkan kesalahan tersebut dan tidak megada-ada sesuatu perbuatan yang belum
pernah dilakukan olen Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Kesalahan
yang lain; mereka berlari kecil mulai dari shafa sampai Marwa dan dari Marwa ke
Shafa. Hal ini bertentangan dengan sunnah Rasulullah. Karena lari kecil
(menurut sunnah) hanya dilakukan pada dua tanda hijau saja, sedang sisanya hanya
dilakukan jalan biasa. Hal ini sering terjdi mungkin karena ketidakmengertian
atau karena tergesa-gesa ingin segera selesai
sa’i.
WUKUF DI ARAFAH
1. Mereka turun di luar batas daerah Arafah dan berdiam (berhenti) di
tempat masing-masing (di luar daerah arafah) sampai matahari terbenam, kemudian
menuju ke Muzdalifah tanpa wuquf di Arafah, ini merupakan kesalahan yang besar,
karena wuquf di Arafah merupakan salah satu rukun Haji yang tak sah Haji seseorang
tanpa wuquf di Arafah.
Maka
barang siapa tidak wuquf di Arafah pada saat wuquf, hajinya tidak sah,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Haji itu adalah wuquf di Arafah. Barang
siapa datang pada malam pertemuan tersebut sebelum fajar berarti wuqufnya sah”.
Kesalahan yang fatal terjadi karena mereka tertipu oleh sebagian jamaah.
Sebagian jamaah ada yang turun sebelum sampai daerah Arafah tanpa memperhatikan
tanda-tanda batas daerah Arafah, sehinga haji mereka tidak sah dan orang lain
yang datang kemudian tertipu mengikutinya dan tidak sah pula hajinya.
2. Mereka meninggalkan Arafah sebelum matahari terbenam. Perbuatan ini
adalah haram, karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam yang berwuquf sampai matahari terbenam dan hilang bulatannya. Di samping
itu, meningalkan Arafah sebelum matahari terbenam adalah perbuatan orang-orang
jahiliyah.
3. Mereka menghadap ke Jabal Arafah saat berdo’a sementara Kiblat
berada di belakang, kiri, atau kanan mereka. Hal ini bertentangan dengan sunnah
Rasulullah SAW yang berdo’a sambil menghadap Kiblat.
MELEMPAR JUMROH
1. Keyakinan mereka, bahwa batu kerikil harus diambil dari Muzdalifah,
sehingga mempersulit mereka sendiri dengan harus mencarinya di tengah malam dan
membawanya pada hari-hari Mina. Pernah terjadi, seseorang kehilangan satu batu kerikilnya
dan sedihnya bukan kepalang. Dia minta tolong kawannya untuk dapat memberikan
kepadanya kerikil yang diambil dari Muzdalifah. Padahal sudah jelas hal itu
tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau pernah
memerintahkan Ibnu Abbas ra untuk mengambilkan kerikil sementara belliau berada
di atas kendaraan. Tampaknya waktu itu beliau sedang berada di Jumrah, dan
karena saat itulah waktu memerlukannya; maka beliau tidak pernah memerintahkan
untuk mengambil kerikil sebelum di Jumrah, karena hal itu tidak perlu dan
merepotkan dalam membawanya.
2.
Keyakinan
mereka, bahwa dengan melempar Jumrah, berarti melempar setan, yang sebenarnya
tidak ada dalil yang benar yang dapat dijadikan dasar. Dan sebagaimana telah
kita ketahui sebelumya bahwa hikmah disyari’atkan melempar jumrah adalah untuk
mendirikan dzikir kepada Allah Azza wajalla, dan untuk itulah mengapa Nabi SAW
bertakbir pada setiap lemparan batu kerikil.
3.
Mereka melempar
dengan kerikil-kerikil besar, sepatu atau sandal, seperti pantopel (sepatu
boot), dan kayu. Hal ini adalah suatu kesalahan yang besar dan bertentangan
dengan apa yang disyari’atkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada
ummatnya dengan perbuatan dan perintahnya, dimana beliau melempar hanya dengan
batu kerikil sebesar kerikil untuk pelenting ketepil dan memer intahkan
ummatnya melempar jumrah dengan kerikil sebesar itu, serta mengingatkanmereka
untuk tidak berlebih-lebihan dalam beragama. Kesalahan besar ini terjadi karena
keyakinan mereka, bahwa mereka sedang melempar setan.
4.
Mereka maju
mendekati jumrah dengan paksa dan kekerasan tanpa rasa khusyu’ kepada Alah dan
tanpa rasa kasih sayang kepada sesama hamba Allah yang lain, sehingga dengan perlakuan kasar tersebut
terjadilah penganiayaan dan gangguan terhadap orang lain, dan terjadi pula
saling caci maki dan saling pukul. Hal ini dapat merubah suasana ibadah dan
tempat ibadah ini menjadi pemandangan saling caci dan saling bunuh, menyebabkan
mereka keluar dari tujuan disyari’atkan ibadah ini dan keluar dari apa yang
dilakukan oleh Nabi SAW.
5.
Mereka tidak
berdo’a setelah melempar Jumrah Pertama (jumrah Shughra) dan kedua (jumrah
Wustha) pada hari-hari tasyriq. Padahal Nabi SAW setelah melempar keduanya
berdiam diri, menghadap Kiblat sambil mengangkat kedua tangannya dan berdo’a
dengan do’a yang panjang. Orang-orang tidak berdo’a setelah melempar jumrah
pertama dan tidak pula berdo’a setelah melempar jumrah kedua, mungkin karena
ketidaktahuan mereka tentang sunnah Rasulullah dalam hal ini atau mungkin
karena ingin cepat selesai dari ibadah haji. Alangkah baiknya, jika para jamaah
haji telah belajar terlebih dahulu hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah
haji sebelum melakukan haji agar dapat beribadah kepada Allah dengan penuh
pengetahuan dan ilmu, serta dapat mengikuti sunnah Rasulullah. Orang yang akan
bepergian ke suatu negara saja bertanya-tanya tentang jalan yang akan dilewati
sehingga dapat sampai ke negara tersebut dengan pengetahuan yang cukup,
bagaimana halnya dengan orang yang ingin melewati jalan menuju kepada Allah
subhanahu wata’ala dan surgaNya??, tentu baginya lebih perlu dan lebih harus
bertanya terlebih dahulu sebelum melewati jalan tersebut sehingga sampai ke
tujuan.
6.
Mereka melempar
seluruh kerikil (tujuh batu kerikil) sekaligus dengan satu kepalan. Seharusnya,
mereka melempar batu kerikil satu demi satu sebagaimana ya ng dilakukan oleh
Nabi SAW. Mereka menambah beberapa ucapan do’a yang tidak pernah diucapkan oleh
Nabi SAW pada saat melempar. Yang paling utama, hendaknya cukup dengan membaca
takbir, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi tanpa di tambah dan dikurangi.
7. Mereka meremehkan atau seenaknya melempar Jumrah dengan mewakilkan
kepada orang lain, padahal mereka mampu melakukannya sendiri. Mereka melakukan
hal itu (mewakilkan kepada orang lain) agar terbebas dari repotnya berdesak-desakan
dan kesulitan melempar. Hal ini bertentangan dengan perintah Allah Ta’ala untuk
menyempurnakan Haji, sebagaimana firmannya : “Dan sempurnakan ibadah haji dan
umrah karena Allah.” (QS Al-Baqarah : 196). Seharusnya orang yang mampu
melempar jumrah hendaknya melakukannya sendiri dan dapat bersabar terhadap
kesulitan dan keletihan, karena ibadah haji memang merupakan jihad yang
mengandung kesulitan dan pengorbanan.
THAWAF WADA’
1. Mereka turun dari Mina, pada hari Nafar, sebelum melempar jumrah,
untuk thawaf wada’, kemudian kembali lagi ke Mina untuk melempar jumrah lalu
lengsung pulang ke negara mereka dari situ. Ini tidak boleh, karena bertentangan
dengan perintah Nabi SAW bahwa saat terahir para jamaah haji adalah di Ka’bah.
Orang yang melempar jumrah setelah thawaf wada’ berarti telah menjadikan
saat-saat ahirnya adalah di Jumrah dan tidak di Ka’bah. Nabi shallallahu alaihi
wasallam sendiri juga tidak pernah thawaf wada’ kecuali ketika akan
meninggalkan Makkah, setelah seluruh ibadah Haji beliau selesai.
2.
Mereka tetap
berada di Makkah setelah thawaf wada’, sehingga saat-saat ahirnya tidak di
Ka’bah. Hal ini bertentangan dengan apa yang diperintahkan dan diterangkan oleh
Nabi SAW kepada ummatnya dengan perbuatannya. Nabi SAW telah memerintahkan agar
saat-saat ahir jamaah haji adalah di Ka’bah dan beliau sendiri tidak thawaf
wada’ kecuali ketika akan meninggalkan Makkah, begitu juga para sahabat beliau
melakukan. Hanya para ulama’ memberikan keringanan (membolehkan) untuk tetap
berdiam di Makkah setelah thawaf wada’ kepada orang yang memang benar-benar mempunyai
kepentingan yang besar, seperti: harus shalat terlebih dahulu karena qamat
untuk shalat telah berbunyi, datang jenazah dan harus ikut menshalatkannya,
atau ada keperluan yang berkenaan dengan perjalanannya seperti membeli barang, menunggu teman dan lain
sebagainya. Adapun jika berdiam di Makkah, setelah thawaf wada’, tanpa alasan-alasan
yang diperbolehkan, maka wajib baginya mengulangi thawaf wada’nya kembali.
3.
Mereka keluar
dari masjid setelah thawaf wada’ dengan berjalan mundur, dengan anggapan hal
itu merupakan penghormatan terhadap Ka’bah. Hal ini bertentangan dengan sunnah,
bahkan termasuk perbuatan bid’ah yang diperingatkan oleh Rasulullah SAW dan
sabda beliau : “Setiap bid’ah adalah sesat”.
4. Mereka menoleh ke Ka’bah saat sampai di pintu masjid, setelah
selesai thawaf wada, dan berdo’a di sana seperti sedang mengucapkan selamat tinggal
dan selamat berpisah kepada Ka’bah. Hal ini juga termasuk bid’ah, karena belum
pernah tersebut dalam hadits shahih dari Nabi SAW maupun dari Khulafaur
Rasyidin.
----------
TANYA JAWAB HAJI
Kapankah
jatuhnya kewajiban haji itu bagi seorang Muslim ?
Jawab :
Memang
dalam setiap ibadah termasuk ibadah haji salah satu syaratnya adalah niat yang
ikhlas, yaitu berniat hanya untuk Allah semata. Sebab kalau ibadah itu tak
diiringi niat karena Allah swt maka ibadahnya itu tak akan diterima di sisi
Allah swt.Allah swt berfirman, ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya... ”
(Al-Bayyinah: 5). Adapun secara spesifik terdapat syarat-syarat dalam ibadah haji
adalah, Islam, berakal, baligh, merdeka dan mempunyai kesanggupan atau
kemampuan secara fisik, finansial dan aman dalam perjalanan. Allah swt
berfirman, ”...Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)
orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah...” (Al-Imran: 97). Maka
apabila sudah terpenuhi syarat-syarat di atas sejatinya seorang Muslim segera
menunaikan ibadah haji sebelum maut menjemput. Dalam hal ini Rasulullah saw
bersabda, “Bersegeralah kalian dalam menunaikan haji-yakni haji wajib-, karena
seseorang tak tahu apa yang akan menimpa dirinya” (HR Ahmad dan Abu Dawud) .
Para ulama bahkan bersepakat bahwa ketidak mampuan seseorang yang didahului
dengan kemampuan untuk mengerjakan haji tidak akan menggugurkan kewajiban haji seseorang.Jadi
dianjurkan manakala seorang Muslim telah memenuhi syarat untuk berhaji maka
sebaiknya segera ditunaikan sambil berusaha untuk meniatkannya karena Allah
swt.Wallahua'lam
Bagaimana
hukumnya mengenai acara Waliimatussafar (Ratiban) yang dilaksanakan sebelum
berangkat
menunaikan ibadah haji, apakah Rasulullah juga melakukan hal demikian ?
Jawab :
Waliimatussafar
berasal dari akar kata Waliimah yang berarti jamuan atau pesta dan Safar yang
berarti perjalanan. Dengan demikian kata Waliimatussafar berarti jamuan atau
pesta bagi orang yang hendak melakukan perjalanan jauh. Dalam kaitannya dengan
ibadah haji maka sebenarnya Rasulullah tak pernah melakukan acara
Waliimatussafar secara khusus, dan jika berkeyakinan bahwa acara
Waliimatussafar ini merupakan rangkaian dari ibadah haji maka itu mengada-ngada
(bid’ah). Apalagi kalau acara Waliimatussafar akan merusak ibadah haji itu
sendiri seperti mengurangi keikhlasan, padahal ikhlas itu ruhnya ibadah.
Pasalnya tak sedikit orang ingin menggelar acara Waliimatussafar hanya untuk
tujuan tak seharusnya seperti agar nantinya ia disebut pak/ibu haji, sehingga
terjebak dalam perbuatan Riya. Namun demikian kalau acara Waliimatussafar ini
sebagai bagian dari rangkaian adab-adab safar (melakukan perjalanan jauh) dan
bukan bagian dari rangkaian ibadah haji maka itu malah dianjurkan.
Dalam
kontek pertanyaan Anda ini Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Iidhaah telah merinci
adab-adab safar itu yang antara lain: sebelum berangkat meninggalkan rumah
dianjurkan untuk shalat dua rakaat dimana pada rakaat pertama membaca surat
Al-Kafirun dan pada rakaat kedua membaca Al-Ikhlas, kemudian setelah salam
membaca ayat Kursi, surat Al-Quraisy, Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas yang
dilanjutkan dengan berdo’a agar urusannya dimudahkan. Adab safar lain yang disebutkan Imam Nawawi
adalah: hendaknya ia mengucapkan wada’ (pamitan) terhadap keluarga, para
tetangga dan para teman dekatnya. Tujuannya adalah untuk meminta maaf terhadap
mereka dan agar mereka mendo’akannya.
Begitu
pula Imam Nawawi menyebutkan adab-adab kepulangan dari safar, di antaranya:
ketika tiba di rumah dianjurkan agar menuju mesjid terdekat untuk kemudian
shalat dua rakaat, dan demikian juga apabila masuk ke rumah dianjurkan untuk
shalat dua rakat lalu berdo’a dan memanjatkan rasa syukur kepada Allah swt.
Adapun niatnya adalah tanpa perlu mengucapkannya dengan lafal-lafal khusus yang
berbahasa Arab, tapi cukup berniat di hati saja tanpa perlu dilafalkan. Jadi shalat
dua rakaat sepulang ibadah haji bukanlah sunah haji tetapi bagian dari adab
safar saja.
Kesimpulannya
adalah jika Waliimatussafar itu dianggap sebagai rangkaian ibadah haji dan
menimbulkan efek negatif seperti riya maka itu sama sekali tak dibenarkan, tapi
jika muatan Waliimatussafar itu ternyata merupakan pengamalan dari adab-adab
safar maka itu dianjurkan. Wallaahua'lam
Bagaimana
hukumnya seorang muslimah pergi haji tanpa disertai mahrom ?
Jawab :
Para
ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukum Muslimah berhaji wajib tanpa mahram.
Dr. Yusuf Qardhawi dan Syaikh Athiyyah Shaqr, mantan Ketua Komisi Fatwa Al-Azhar,
membolehkannya jika ia ditemani orang yang amanah, atau Muslimah itu merasakan
aman dalam perjalanannya baik ketika pergi maupun pulang, atau bersama dengan
sebuah lembaga terpercaya yang mengkoordinir perjalanan haji itu. Pasalnya,
pengharaman tanpa mahram itu karena saddan adz-dzarai, yaitu upaya preventif
atau kuatir atas kondisi wanita. Dan jika kekuatiran atas keselamatan wanita
atau fitnah yang akan menimpa wanita itu tidak ada, maka boleh baginya pergi
haji tanpa mahram. Memang asal hukum berpergian bagi wanita itu tak boleh
sendirian, tapi ia harus ditemani suaminya atau mahramnya. Nabi saw bersabda,
”Seorang wanita tak boleh berpergian kecuali dengan mahramnya...”, (HR
Bukhari). Hadits lainnya, ”Tak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan
Hari Akhir berpergian dengan jarak tempuh sehari semalam tanpa ditemani mahramnya”,
(HR Malik, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah). ”Seorang
wanita tak boleh berpergian jarak tempuh dua hari tanpa suaminya atau
mahramnya”, (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Said). Dari Ibnu Umar, ”Tak boleh
(wanita) berpergian tiga hari kecuali dengan mahramnya”. (HR Bukhari dan
Muslim)
Itulah
hadits-hadits yang terkait dengan tidak bolehnya wanita berpergian tanpa
disertai suami atau mahramnya. Kendati demikian, Ibnu Daqiq Al-Ied menyebutkan
bahwa Qadhi Abi Al-Walid Al-Yaji, ulama dari mazhab Maliki, mengecualikan wanita
tua yang tak diinginkan lagi (untuk dinikahi). (Fathul Baari, Jilid 4, h. 447).
Al-Atsram meriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa Mahram itu bukan syarat dalam haji
wajib. Menurut Al-Auzai, (muslimah) boleh bersama dengan jamaah orang-orang
terpercaya. Sementara Malik mengatakan, (boleh) bersama dengan jamaah
perempuan. Syafi'i mengatakan, bersama Muslimah lainnya yang terpercaya.
Ulama-ulama Syafiiyah berpendapat, boleh sendirian jika aman. (Al-Furuu, Jilid
3, h. 235-236). Bahkan mazhab Maliki membolehkan seorang wanita berhaji ikut
rombongan laki-laki atau campuran antara laki-laki dan wanita, tapi syaratnya
mereka dapat dipercaya alias amanah, artinya tak akan terjadi hal-hal yang tak
diinginkan. Dalil mazhab Syafi'i dan Maliki adalah makna ayat... “Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah...” (Ali 'Imran: 97).
Makna
ayat ini masih global, artinya tanpa disebutkan apakah harus bersama suaminya
atau mahramnya, yang penting ia sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Karena itu kalau seorang wanita terhindar dari kerusakan atau hal-hal
takdiinginkan dalam pelaksanaan haji maka ia wajib berhaji.
Perlu
diperhatikan bahwa kebolehan dari mazhab Syafi'i dan Maliki hanya untuk
perjalanan ibadah wajib, seperti haji wajib, adapun untuk perjalanan yang
sifatnya tak mendesak dan masih ada alternatif lain maka kedua mazhab itu tetap
mengharuskan disertai mahram. Wallaahua'lam
Pantaskah
Seorang Muslim Berhaji Tapi Ibadahnya Bolong-Bolong ?
JAWAB :
Minimal
dalam sebuah ibadah, termasuk ibadah haji, ada dua syarat agar ibadah itu
diterima di sisi Allah yaitu, ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah saw.
Ikhlas artinya bahwa seseorang beribadah karena Allah semata bukan karena ingin
dipuji orang atau karena tujuan lainnya. Allah swt berfirman, ”Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya... (Al-Bayyinah: 5). Jadi, shalat yang masih bolong-bolong bukanlah
penghambat atau penghalang ibadah haji , artinya meski shalat masih
bolong-bolong maka hajinya tetap sah.
Namun
perlu diketahui bahwa salah satu tanda haji yang mabrur adalah manakala
seseorang setelah berhaji akan semakin taat kepada Allah swt. Terakhir yang
harus di ketahui adalah, meninggalkan shalat wajib yang lima waktu termasuk
dosa besar dan harus segera bertobat. Bahkan para ulama menganggap orang yang
meninggalkan shalat wajib dengan sengaja tanpa ada uzur syar'i apapun maka ia
telah keluar dari agama Islam alias kafir. Wallaahua'lam
Sudah
niat haji tetapi kemudian meninggal dunia.Apakah niat orang itu untuk berhaji
akan diterima
Allah,
dan apakah Allah juga akan memberikan pahala haji bagi orang itu ?
JAWAB :
Yang
Anda tanyakan sebenarnya berkaitan dengan masalah niat ibadah atau amal saleh
yang tak sempat direalisasikan. Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah saw pernah
bersabda, Dari Abi Al-'Abbas Abdillah bin Abbas bin Abdi Al-Muthallib ra, dari
Rasulullah saw seperti yang ia riwayatkan dari Rabbnya Yang Maha Suci dan Maha
Tinggi, beliau mengatakan bahwa Allah Yang Maha Tinggi telah menuliskan
amalan-amalan baik dan tercela, lalu ia menjelaskan, maka barangsiapa berkeinginan
(berniat) dengan sebuah amalan baik kemudian ia tak mengerjakannya, maka Allah
Yang Maha Suci dan Maha Tinggi menuliskannya di sisi-Nya sebagai sebuah
kebaikan yang sempurna. Dan jika berkeinginan atas amalan (baik) itu lalu ia
mengerjakannya maka Allah menuliskan di sisi-Nya sepuluh hingga tujuh ratus
kali dan lipatan ganda kebaikan. Jika ia berkeinginan terhadap sebuah kejahatan
serta tak mengerjakannya maka Allah Yang Maha Tinggi menuliskannya di sisi-Nya
sebagai sebuah kebaikan yang sempurna, dan jika ia berkeinginan atas amalan
(jahat) itu lalu ia mengerjakannya maka Allah menuliskannya sebagai sebuah
kejahatan. (HR Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits di atas maka dengan niat
haji itu ia akan mendapat pahala kebaikan di sisi Allah. Kendati demikian tentunya
ia tak akan mendapatkan pahala haji, pasalnya ia belum mengerjakan amalan
haji.Wallahu'alam
Berhaji
dan Masih Memiliki Hutang , atau berhaji dengan uang pinjaman ?
JAWAB :
Sekali
lagi bahwa haji diwajibkan atas Muslim yang memiliki Istitha’ah (kesanggupan),
hal ini didasarkan pada firman Allah SWT : ”…Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan
ke Baitullah…”(Ali ‘Imran: 97). Yang dimaksud dengan kesanggupan itu adalah
tersedianya perbekalan (seperti ongkos) untuk mengantarkannya ke Baitullah dan
tersedianya dana untuk menutupi kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya
selama ia menunaikan haji, seperti kewajiban melunasi hutang, cicilan motor dan
kebutuhan primer sehari-hari lainnya. Dan tak diperbolehkan menunda pembayaran
hutang yang harus segera dilunasi jika memang ia mampu melunasinya, terlebih si
pemberi pinjaman membutuhkan uang tersebut, karena perbuatan itu termasuk
menzalimi pihak lain. Kemudian perlu diketahui bahwa pada dasarnya pelunasan
hutang merupakan hak hamba dan pelaksanaan ibadah haji merupakan hak Allah,
dalam hal ini pemenuhan hak Allah seperti haji ini lebih luas waktunya ketimbang
pemenuhan hak hamba berupa hutang piutang yang terkadang harus segera dipenuhi.
Maka wajarlah ketikaSahabat Nabi Abdullah bin Aby Aufa bertanya kepada Nabi SAW
tentang seorang yang belum berhaji, “Apakah dia berhutang ? Nabi SAW menjawab:
Tidak! ( H.R.Al-Baihaqy ).
Jika
seseorang berangkat haji tetapi mengakibatkan kewajiban pelunasan hutang
menjadi terganggu, maka ia berdosa karena ia telah menzhalimi pihak lain, namun
demikian hajinya tetap sah. Kalau ada orang yang berhutang kepada tetangga-tetangganya
kemudian mau pergi haji, maka seharusnya ketika akan berangkat haji maka ia
wajib meminta izinterlebih dahulu ke tetangga-tetangga yang dihutanginya. Jika
ia diizinkan maka boleh baginya untuk berangkat haji dengan syarat ia yakin
sepulangnya dari haji dapat melunasi hutang itu, jika tidak yakin maka sebaiknya
ia mununda keberangkatannya, jika masih juga memaksakan untuk berangkat maka
hajinya tetap sah namun ia berdosa karena telah menzalimi tetangga-tetangga
yang dihutanginya dengan tidak segera melunasi hutang-hutangnya
itu.Wallahua’alam
Badal
haji untuk orang yang sudah meninggal dan syarat-syaratnya ?
JAWAB :
Status
haji salah puteranya itu tergantung niat si bapak, sebab segala amalan,
termasuk ibadah haji, tergantung niatnya. Kalau niatnya untuk diri sendiri maka
hajinya sah dan jika niatnya untuk orang lain (badal haji) maka ini berkaitan
dengan syarat-syarat orang yang berhak menggantikan ibadah haji orang lain.
Syarat-syarat orang yang menggantikan haji orang lain adalah: Baligh dan waras
(mukallaf), pernah berhaji untuk dirinya (tak mesti dua kali), hendaknya ia
berniat dengan mengucapkan “Saya berniat Ihram atas nama si Fulan”. Namun
demikian, mazhab Hanafi tak mensyaratkan agar orang yang menggantikan haji
orang lain itu pernah berhaji terlebih dahulu, alasannya dalil tentang
kebolehan badal haji bersifat umum tanpa disebutkan apakah ia pernah berhaji
atau belum. Menurut mereka, hukum orang yang menggantikan haji orang lain
sedang ia sendiri belum berhaji adalah makruh tahrim (yaitu tingkatan makruh
tertinggi). Adapun dalil diperbolehkannya badal haji adalah dari Ibnu Abbas dan
yang lainnya, Seorang wanita dari Juhainah mendatangi Nabi saw dan berkata,
sesungguhnya ibuku telah bernazar hendak berhaji, namun tak juga berhaji sampai
ia meinggal, apakah saya berhaji untuknya? Beliau menjawab, Ya… (HR. Jamaah).
Dan masih ada lagi hadits-hadits lainnya yang intinya membolehkan badal haji.
Wallahua'lam.
Hukum
Umrah Berkali-Kali ketika Haji dan di Luar Haji
JAWAB :
Dalam
hidupnya Rasulullah hanya menunaikan 4 kali umrah yaitu umrah Hudaibiyah pada
tahun ke-6 H, umrah berikutnya pada tahun ke-7 H, umrah Ji'ranah tahun ke-8 H
dan umrah ketika beliau berhaji, yang menurut pendapat paling kuat Rasulullah
berhaji dengan cara Qiron, yaitu berihram untuk haji dan umrah sekaligus atau
berihram untuk umrah saja lalu memasukkan niat haji sebelum Tawaf. Maka
jelaslah bahwa ketika berhaji Rasulullah hanya sekali berumrah.
Adapun
hukum umrah berkali-kali, baik di bulan-bulan haji atau di luar bulan haji,
menurut mayoritas ulama hukumnya sunah, dasarnya adalah: Dari Abi Hurairah
r.a., bahwa Nabi saw bersabda, "Dari umrah ke umrah lainnya adalah penebus
dosa (kaffaarah) di antara keduanya...".(H.R Buhkari dan Muslim). Dalam
kitab Al-Majmu' Imam Nawawi mengatakan, dua atau tiga kali atau lebih umrah
dalam setahun atau dalam sehari taklah dimakruhkan, bahkan tanpa diragukan
lagi, dalam pandangan kami (mazhab Syafi'I) memperbanyaknya disunnahkan.
Menurut Ash-Shan'ani dalam Subulus Salaam mengatakan, sabda Nabi saw Dari umrah
ke umrah lainnya merupakan dalil berulang-ulangnya umrah, dan itu tak makruh dan
tak dibatasi waktu. Perlu diketahui bahwa mereka yang mengatakan bahwa makruh
melakukan umrah berkali-kali dalam satu tahun, maka kemakruhan ini, menurut
mereka, akan hilang manakala ia beberapa kali memasuki kota Mekkah dari arah di
mana di sana ada miqot ihram.Wallahua'alam
Anak
Bernazdar Menghajikan Orang Tua Tapi Belum Pernah Berhaji ?
JAWAB
:
Ibadah
haji hukumnya wajib 'Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap
individu Muslim. Karena itu, manakala seorang Muslim telah memiliki semua
persyaratan untuk menunaikan ibadah haji, maka dirinyalah yang lebih dahulu
terkena kewajiban itu, bukan orang lain.
Jadi,
memang sebaiknya anak lebih dahulu berhaji ketimbang orang tua. Pasalnya, yang
sebenarnya telah terkena kewajiban haji itu adalah anaknya sendiri bukan orang
tua. Selain itu, hukum fiqih tak menyebutkan siapa yang wajib diutamakan dalam
berhaji antara anak dengan orang tuanya, artinya tidak perlu mendahulukan orang
tua dalam melaksanakan haji ketimbang diri sendiri. Demikian juga dalam kaidah
ushul fiqih dikenal dengan kaidah “Laa Itsaara fi al 'Ibaadah. Maksudnya “Tidak
perlu mendahulukan orang lain dalam hal Ibadah”. Namun demikian, jika anak
tersebut berjanji untuk menghajikan ibunya bila dia sudah bekerja misalnya,
maka dalam kondisi ini anak harus dan wajib menghajikan orang tua, dan inilah
yang dinamakan dengan Nadzar. Allah swt berfirman, ”...dan hendaklah
merekamenyempurnakan nadzar-nadzar mereka... (Al-Hajj: 29).Jadi kesimpulannya,
anak tersebut wajib dan harus memberikan biaya naik haji untuk orang tua meski
dia belum naik haji, karena itu berkaitan dengan nadzar Wallaahua'lam
Haji
Tamattu, Ifrad, atau Qiran?
JAWAB :
Secara
sederhana pengertian dari 3 macam cara manasik haji di atas adalah sebagai
berikut : Pertama, Ifrad adalah berihram untuk haji saja pada waktu haji.
Kedua, Qiran adalah berihram untuk haji dan umrah sekaligus atau berihramuntuk
umrah saja lalu memasukkan niat haji sebelum Tawaf. Dan ketiga, Tamattu’ yaitu
mengerjakan umrah pada bulan-bulan haji kemudian setelah itu mengerjakan haji.
Pada
dasarnya bagi jemaah dibolehkan untuk menggunakan salah satu dari 3 macam cara
di atas, hal itu ditegaskan oleh hadits, Dari Aisyah ra berkata, kami pergi
bersama Rasulullah saw di tahun haji Wada. Di antara kami ada yang berniat ihram
untuk umrah, ada yang berniat ihram untuk haji dan umrah dan ada pula yang
berniat ihram untuk haji dan Rasulullah saw sendiri berniat ihra m untuk haji.
Adapun yang berniat ihram untuk umrah maka ia dalam keaadaan halal pada hari sampainya,
dan adapun y ang berniat ihram untuk haji atau menggabungkan antara haji dan
umrah maka ia tak dalam keadaan halal sampai hari Nahar. (HR Ahmad, Bukhari,
Muslim dan Malik). Namun dalam hadits lain disebutkan bahwa Nabi saw telah
menyuruh kepada orang yang tidak membawa binatang sembelihan agar menjadikan
niat hajinya dirubah untuk umrah dan bertahallul serta bertamattu sampau
melakukan ihram untuk haji. Sabda beliau, “Jika tidak karena binatang
sembelihanku, tentu aku menghalalkan diriku sebagaimana yang kalian lakukan…”
(HR Muslim). Jadi berdasarkan hadits itu Nabi saw menjelaska n bahwa beliau tak
melakukan Tamattu karena beliau membawa binatang sembelihan. Ringkasnya,
berdasarkan hadits ini, haji selain Tamattu diperuntukkan bagi mereka yang
membawa binatang sembelihan.Wallahua’lam
Jika
sudah haji tetapi sifat buruk tidak berubah, apakah hajinya mabrur ?
JAWAB :
Nabi
saw bersabda, Dari Abi Hurairah ra, ia mengatakan: Rasulullah saw bersabda,
“Haji yang mabrur itu tak ada ganjarannya selain dari surga… (HR Muslim, Ahmad
dan An-Nassai). Haji yang mabrur artinya haji yang diterima di sisi Allah,
karenanya Allah akan memberi dia Al-Birru, artinya pahala. Seseorang akan dapat
meraih haji mabrur manakala hajinya itu tak dikotori dengan perbuatan-perbuatan
dosa. Dengan demikian orang yang menginginkan haji mabrur maka hendaknya
meluruskan niat hajinya itu terlebih dahulu, yaitu karena Allah bukan karena
lainnya, seperti agar dapat dipanggil bapak/ibu haji, demi popularitas, atau
tujuan duniawi lainnya. Dengan demikian mabrur tidaknya seseorang tak dapat
dipastikan dari kaca mata manusia, karena itu hanya Allah saja yang
mengetahuinya. Namun demikian, kita dapat berusaha untuk meraih gelar mabrur
itu, diantaranya niat yang ikhlas, haji dari uang yang halal dan bersih serta
tak mengandung unsur syubhat, mengerjakan semua amalan sunah dan akhlak dalam berhaji seperti
tak mencaci, berbantah-bantahan dan berkata-kata keji. Memang indikasi mabrur
atau tidaknya seseorang dalam berhaji dapat terlihat dalam kesehariannya pasc
ahaji, seperti menunaikan kewajiban-kewajiban dan sunah agama, berakhlak mulia,
banyak bertaubat, beristigfar dan amalan kebaikan lainnya. Namun kepastian
mabrur tidaknya tetap hanya Allah saja yang Maha Mengetahui. Wallahua’lam
Bagaimana
prioritas haji antara suami dan istri ?
JAWAB
:
Prioritas
haji antara suami dan istri dalam sebuah keluarga dapat dijelaskan sebagai
berikut : pertama, kalau dana itu hasil usaha atau harta si suami maka si suami
sama sekali tak diwajibkan untuk menghajikan si istri, pasalnya kewajiban si suami
hanyalah memberikan nafkah kepada istrinya berupa makanan, pakaian, tempat
tinggal dan kebutuhan primer lainnya. Kendati demikian si suami dapat saja
menghajikan istrinya sebagai bentuk cinta kasih terhadapnya, tentu ini kalau si
suami mempunyai cukup dana dan menginginkan istrinya berhaji. Tapi kalau hanya
memiliki dana cukup untuk dirinya saja, maka bagi si suami sudah wajib haji.
Kedua, bila dana itu dari hasil usaha/atau harta si istri, maka si istri lebih
berhak untuk menunaikan ibadah hajinya terlebih dahulu. Ketiga, sebenarnya
prioritas dalam berhaji itu dapat ditentukan dan dirundingkan sesuai situasi
dan kondisi keluarga Anda, dan langkah ini lebih bijak dan tak menimbulkan
keretakan antara suami-istri. Wallahua’lam
Badal
Haji bagi Orang Uzur
JAWAB :
Perlu
diketahui bahwa Badal haji bukan hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah
tiada, tapi Badal haji juga berlaku bagi mereka yang ditimpa sakit dan didera
uzur. Hal ini sesuai hadits Rasulullah saw, Dari Abdullah bin Abbas ra, ia berkata,
Fadhal berkendaraan dengan membonceng Rasulullah. Tiba-tiba datanglah seorang
wanita dari Khats’am. Fadhal melihat kepadanya demikian pula wanita itu melihat
kepada Fadhal. Maka Rasulullah pun memalingkan muka Fadhal ke arah lain
sementara Wanita itu bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, Allah
mewajibkan haji atas hamba-hamba-Nya dan kebetulan ayahku telah sangat tua
renta hingga tak sanggup lagi berkendaraan, maka apakah saya berhaji untuknya?”
Beliau menjawab, “Boleh”. Dan peristiwa itu ketika haji Wada’. (HR
Bukhari).Wallahua’lam
Apa
saja yang harus dipersiapkan sebelum berangkat Haji ?
JAWAB :
1. BARANG BAWAAN
Sebaiknya sebelum berangkat
inventarisasikan dulu barang-barang yang akan dibawa. Sebenarnya masing-masing
orang akan mempunyai kepentingan yang berbeda berkaitan dengan barang yang akan
dibawanya. Kendati demikian berikut ini perlengkapan standard dan pada umumnya
dibutuhkan oleh setiap jemaah haji, yaitu :
Pakaian. Jika Anda pergi saat musim
panas maka siapkan pakaian yang terbuat dari bahan yang tipis dan dapat
menyerap keringat. Pilihlah warna putih atau warna terang agar tak menyimpang
panas. Hindarkan warna hitam. Begitu sebaliknya, jika di musim dingin maka
siapkan pakaian penghangat dan selimut.
Bagi jemaah pria pakaian yang
diperlukan adalah, beberapa potong baju kemeja tangan panjang, beberapa potong
oblong (T-Shirt bahan katun), beberapa potong celana bahan katun, pakaian dalam
dan kaos kaki secukupnya, pakaian tidur dan handuk kecil, baju hangat atau
jaket untuk di dalam pesawat. Bagi jemaah wanita adalah, beberapa potong
bajau/blouse tangan panjang, beberapa baju kurung berleher/lengan panjang,
beberapa potong celana yang panjang longgar, satu-duapotong pakaian tidur,
pakaian dalam secukupnya, beberapa kaos kaki, 3 potong mukena pendek, 4 potong
tutup kepala dari katun, satu jaket untuk di pesawat. Semua pakaian di atas
sebaiknya diberi nama agar tak tertukar ketika dijemur di pemondokan Mekah atau
di Medinah. Jangan bawa pakaian terlalu banyak sebab akan memberatkan.
Mandi dan Cuci. Bawalah perlengkapan
mandi dengan merek seperti yang biasa dipakai sehari-hari di tanah air. Adapun perlengkapan
mandi dan mencuci yang harus dipersiapkan adalah, tas atau kotak sabun, sabun
mandi, sabun cuci, sabun colek, sabun serbuk, sikat gigi dan odol, shampoo,
handuk, parfum/deodoran, gunting kuku, pisau cukur (bagi pria), dan gayung.
Saat berada di asrama haji atau di tanah suci perlengkapan mandi dan mencuci
ini sangat dibutuhkan, begitu pula saat beradad di bandara udara Jeddah.
Makanan. Pihak Depag atau Biro Haji
telah menyiapkan makanan untuk jemaah haji, bahkan ketika tiba di Bandara King Andul
Aziz makanan bagi jemaah telah disiapkan. Untuk mendapatkan makanan siap saji
selama di tanah suci, tidaklah sulit karena banyak di jual di sana. Selain itu,
makanan juga disediakan pada saat tertentu, seperti saat wuquf di Arafah, mabit
di Mina atau di Muzdalifah. Kalau mungkin, bawalah makanan jadi yang bisa tahan
lama, seperti rending, dendeng, sambal teri, serundeng dan lain-lain.
Sebenarnya pemerintah Arab Saudi melarang membawa makanan jadi ini. Namun pada
kenyataannya hampir semua jemaah membawa bekal tersebut tetapi toh tak ada
masalah.
Masak Sendiri. Anda juga boleh
memasak sendiri. Bahan-bahannya banyak tersedia dan mudah didapat, selain itu
lebih irit. Yang agak repot barangkali mengenai kompor dan perabotan masak
lainnya. Maka kalau memang mau praktis, belilah rice cooker multi fungsi yang
bisa memasak nasi dan bisa memasak sayur atau gulai. Rice cooker jenis banyak
dijual di Saudi.
Obat-Obatan. Batuk, flu, pilek,
infeksi kerongkongan dan sariawan adalah penyakit yang paling sering menyerang
jemaah. Maka bawalah obat-obatan yang biasa dikonsumsi. Bagi calon jemaah haji
yang menderita penyakit tertentu, sebaiknya menyiapkan obat-obatan seperti yang
disarankan oleh dokter dalam jumlah yang cukup. Vitamin atau multi vitamin sebaiknya
disiapkan juga. Adapun obat-obatan yang biasanya dibutuhkan di tanah suci
adalah, obat batuk, obat flu dan pilek, obat diare, obat kumur, obat luka,
plester, krem pelindung kulit, pelembab bibir, minyak gosok, obat tetes mata
dan obat penunda menstruasi. Perlu diperhatikan bahwa sebenarnya pelayanan
medis itu telah tersedia baik dari pihak Depag, atau Biro Haji atau pemerintah
Saudi.
Keperluan Sehari-Hari, yaitu
perlengkapan yang harus disiapkan untuk melakukan perjalanan harian di tanah
suci, seperti ke masjid, ke pasar atau ziarah. Ini perlu demi kenyamanan Anda.
Perlengkapan itu adalah, handuk kecil, kaca mata hitam, kantong kain, masker,
sandal jepit, semprotan air, sepatu kets tipis, buku dan alat tulis yang
mencakup (Al-Qur'an kecil, buku do'a dan zikir, buku manasik haji, buku notes,
spidol), uang bekal tambahan, koper yang agak berbeda dari koper yang dibagikan
pihak Depag atau Biro Haji agar mudah dicari, dan tas tenteng untuk di cabin
pesawat, dan kamera atau handy cam. Adapun buku panduan yang diberikan Depag
saya kira cukup untuk dijadikan rujukan Anda, tapi kalau Anda memandangnya
kurang praktis dn terlalu menjlimet Anda dapat mencari buku panduan lainnya
yang menurut Anda lebih mudah dipahami.
2. MENTAL DAN SPIRITUAL
Pertama yang dilakukan adalah niat yang benar, artinya menunaikan haji
harus karena Allah, bukan karena prestise, karena sesungguhnya segala amalan
itu tergantung niatnya.
Kedua, beristikharah dalam memilih biro perjalanan haji yang sesui
dengan tuntunan Rasulullah.
Ketiga, minta maaf dan membebaskan diri dari hak-hak orang lain sebelum keberangkatan.
Keempat, meminta restu kepada orang tua untuk mendapatkan keberkahan.
Kelima, menulis wasiat tentang apa saja yang menjadi haknya dan yang
menjadi kewajibannya, karena umur manusia merupakan rahasia Allah.
Keenam, mempelajari tata cara haji dan umrah secara intensif, hal ini tak
lain agar dalam melakukan haji berjalan lancar dan tak ragu serta sesui dengan
tuntunan Nabi saw agar ibadahnya sah serta diterima di sisi Allah swt.
Ketujuh, taubat dengan tulus, hal ini dimaksudkan agar menjadikan
perjalanannya menuju Baitullah merupakan perjalanan Rabbani yang penuh
keberkahan. Kedelapan, memilih teman yang baik. Kesembilan, pamitan terhadap
keluarga dan handai taulan. Wallahua'lam
Bagaimana
hukumnya ikut program PHK agar dapat berhaji ?
JAWAB
:
Pada
dasarnya ibadah haji hanya diwajibkan bagi mereka yang telah memiliki
kemampuan. Ini ditegaskan oleh firman Allah swt, ”…Mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan
ke Baitullah…”(Ali ‘Imran: 97).Maka wajarlah ketika Sahabat Nabi Abdullah bin
Aby Aufa bertanya kepada Nabi SAW tentang seorang yang belum berhaji, “Apakah
dia berhutang? Nabi SAW menjawab: Tidak! ( H.R.Al-Baihaqy ).
Berkaitan
dengan kasus karyawan yang mengajukan permohonan untuk di-PHK agar dapat uang
pesangon yang besar yang nantinya dipergunakan untuk berhaji maka itu merupakan
hak-nya. Hanya saja hal itu jangan sampai menyengsarakan yang orang menjadi
tanggungannya, seperti anak dan istri. Sebab, menafkahi keluarga hukumnya wajib
dan lebih utama ketimbang berhaji. Kemudian Allah tidak menuntut dari kita di
atas kesanggupan kita.
Tapi
kalau memang dia menjamin setelah di-PHK akan dapat pekerjaan pengganti,
apalagi sudah mempunyai pengalaman kerja cukup banyakh, maka itulah yang
seharusnya dilakukan dan dia tak termasuk orang yang menzalimi keluarga serta insya
Allah sah haji-nya. Namun perlu diperhatikan, sebaiknya direncanakan segala
sesuatunya dengan matang sehingga tak mengakibatkan kemadharatan. Memang
sebaiknya haji ditunaikan sesegera mungkin, hal ini pernah ditegaskan oleh Nabi
saw, ”Barangsiapa yang hendak berhaji maka bersegeralah, karena mungkin ia
ditimpa sakit, hilang kendaraan atau ada keperluan lainnya.” (HR Ahmad, Ibnu
Majah, Baihaqi dan Ad-Darimi).Kendati demikian, perintah menyegerakan itu bagi
orang yang telah memiliki kemampuan. Adapun bagi orang yang belum mempunyai
kesanggupan maka ia tak dituntut untuk segera berhaji, lalu jika orang yang
belum mempunyai kemampuan itu meninggal sedang belum berhaji insya Allah ia tak
berdosa.Wallahua’lam
Istri
pergi haji tanpa izin suami ?
JAWAB :
Pada
prinsipnya ketika si istri hendak berhaji maka ia harus meminta izin terlebih
dahulu kepada suaminya. Tapi, jika hajinya si istri itu sifatnya wajib, seperti
haji untuk pertama kali, maka ia berhak untuk tetap pergi meski tak diizinkan
oleh suaminya. Pasalnya, haji itu hak Allah dan merupakan kewajiban agama.
Memang mentaati suami itu wajib, tapi mentaat Allah itu lebih wajib lagi.
Kendati demikian, ketika ia berhaji maka ia harus didampingi mahramnya (orang
yang haram dikawininya) atau dengan kelompok wanita yang dapat dipercayai serta
amanah. Jadi, kalau memang hajinya itu sifatnya wajib, maka itu tetap sah meski
tanpa seizin si suami.Wallahua’lam
Jual
tanah untuk biaya pendidikan anak atau berhaji ?
JAWAB
:
Haji
diwajibkan atas Muslim yang memiliki Istitha’ah (kesanggupan), hal ini
didasarkan pada firman Allah SWT:
”…Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah…”(Ali ‘Imran: 97).Yang dimaksud dengan
kesanggupan itu adalah tersedianya perbekalan (seperti ongkos) untuk
mengantarkannya ke Baitullah dan tersedianya dana untuk menutupi kewajiban-kewajiban
yang harus ditunaikannya selama ia menunaikan haji, seperti memberikan nafkah
kepada keluarga yang ditinggalkannya yaitu berupa makanan, pakaian, biaya
pendidikan dan kebutuhan primer lainnya. Jadi, jika seseorang belum dapat
memenuhi kebutuhan primernya, seperti biaya pendidikan atau sekolah, maka
sebenarnya ia tak diwajibkan untuk berhaji, sebab haji diwajibkan setelah ia
menunaikan semua kebutuhan pokoknya.Wallahua’lam
Setiap
tahun pergi haji ? (Sedangkan tetangga dan masyarakat di sekitarnya sangat
miskin dan bahkan di kampungnya sendiri ada sebuah Masjid yang belum selesai
dibangun yang masih sangat membutuhkan dana tambahan).
JAWAB
:
Ibadah
haji itu wajib ditunaikan hanya sekali dalam seumur hidupnya, dan mereka yang
melakukan haji lebih dari sekali maka hukumnya sunah. Ini berdasarkan hadits: Abu
Hurairah berkata, Rasulullah telah berkhutbah di hadapan kami dan mengatakan,
“Wahai manusia, Allah telah mewajibkan haji atas kamu, maka berhajilah.” Lalu
seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tiap tahun?” Beliau tetap
terdiam sampai pertanyaan itu diulang tiga kali, maka Nabi saw menjawab, “Andai
saya jawab “Ya” maka itu menjadi wajib sedang kamu tak akan mampu
melaksanakannya.” (HR Ahmad, Muslim dan An-Nasai)
Berkaitan
dengan pertanyaan ini, perlu sekali di sini dinukilkan kisah seorang ulama
bernama Imam Bisyir Ibnu Al-Harits ketika beliau ditanya oleh seseorang dengan
mengatakan, “Saya memiliki 200 Dirham. Saya ingin berangkat haji dengan uang
itu.” Imam Bisyir bertanya, “Apakah kamu sudah menunaikan haji?” Orang itu
menjawab, “Ya.” Imam Bisyir berkata, “Bukankah aku sudah tunjukkan sesuatu yang
lebih baik dari hal itu?” orang itu menjawab, “Apa itu?” Imam Bisyir menjawab,
“Pergi dan berikan untuk yatim, janda, fakir miskin, serta ibnu sabil. Orang
itu lalu membagi uangnya yang 200 dirham, kemudian imam Bisyir berkata, “Ini
lebih baik ketimbang haji sunah.” Orang itu berkata, “Akan tetapi, hatiku
selalu teringat kepada Baitullah.” Imam Bisyir berkata kepadanya, “Harta yang
mengandung unsur syubhat (dari sumber yang tak jelas) akan membuat pemiliknya
menafkahkan harta itu sesuai dengan hawa nafsunya, yaitu dirimu.”
Semoga
kisah di atas dapat mewakili alasan bagi mereka yang kerap melakukan ibadah
haji atau haji setiap tahun (haji sunah) dan kita dapat merenungkan dan
mengambil hikmah dari kisah itu. Sebenarnya, dalam kasus ini haruslah diberlakukan
fiqih prioritas, yaitu suatu pemahaman mana yang harus diutamakan, apakah haji
sunah atau mengalihkan dana haji sunah itu kepada bentuk ibadah lain yang lebih
bermanfaat, baik dalam skala kecil maupun skala besar. Contoh skala kecil
adalah membantu fakir miskin dan pembangunan yayasan-yayasan sosial Islam dan
mesjid di sekitarnya. Maka akan menjadi kurang etis atau bahkan berdosa
manakala seseorang berhaji setiap tahunnya sementara salah satu kerabat atau
tetangganya kelaparan, atau sakit yang tak sembuh-sembuh karena tak ada dana
untuk pengobatan, atau pembangunan mesjid di lingkungannya yang tak kunjung
usai karena ketiadaan biaya, atau sekolah pendidikan Islam yang memberikan
pendidikan murah atau gratis bagi anak-anak Muslim menjadi bubar karena tak ada
donatur sementara di sekitarnya ada sekolah-sekolah Kristen yang juga
memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak Muslim. Meski demikian, kalau pun
ia memaksakan haji sunahnya, maka hajinya itu tetap sah, meski berdosa karena
mengabaikan sesuatu yang sebenarnya bagi dia merupakan suatu kewajiban.
Adapun
dalam skala besar, andai dana-dana haji sunah seluruh Indonesia diinfakkan,
maka sungguh umat Islam akan dapat mempunyai dana yang cukup besar yang akan
dipergunakan bagi pemberdayaan umat dan dakwah. Misalnya, untuk mengentaskan
kemiskinan yang mencapai 35 juta jiwa, yang mayoritas umat Islam, atau untuk
membendung gerakan kristenisasi yang didukung dengan dana berlimpah, atau
membangun sekolah-sekolah gratis atau murah bagi Muslim tak mampu dan banyak
hal lain yang dapat dilakukan yang manfaatnya lebih banyak dan luas ketimbang
berhaji sunah yang manfaatnya hanya dirasakan sendiri. Selain itu, banyaknya
mereka yang menunaikan haji sunah juga secara tidak langsung akan menghalangi
(menzalimi) mereka yang tak dapat berangkat haji untuk pertamakalinya (haji
wajib) karena tersandung kuota, pembatasan jemaah haji, ini yang kerap terjadi
pada setiap musim haji di beberapa negara seperti Indonesia. Tentu, upaya-upaya
penyadaran atas mereka yang berkali-kali haji itu haruslah melibatkan berbagai
pihak, seperti para ulama dan ustadz, kebijakan pemerintah dan lembaga-lembaga
Islam.
Walaahu’alam
Bagaimana
saya harus memilih Miqot ?
JAWAB :
Miqot-miqot
makani (lokasi) untuk ihram ibadah haji atau pun umrah ditentukan sendiri oleh
Rasulullah saw sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Ibnu Abbas yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
Biasanya
bagi orang Indonesia miqot makaninya di Yalamlam, demikian pula bagi mereka
yang melintasi dan lebih dekat kepada Yalamlam maka miqotnya dari sana.
Berkaitan dengan Qarnul Manazil, maka tempat itu merupakan miqotnya penduduk Najd
dan orang yang melewatinya. Miqat ini sekarang dinamakan dengan Sailul Kabir
yang jaraknya dengan Mekkah sekitar 78 km. Jadi, kalau memang pesawat yang
ditumpangi ternyata miqatnya lebih dekat kepada Qarnul Manazil, maka memang
sebaiknya berihram dari sana. Demikian juga jika pesaw at melewati Yalamlam
maka miqot-nya sebaiknya dari Yalamlam. Dalam hal ini, saya menganjurkan agar
tidak kerepotan mengganti pakaian ihram di dalam pesawat ketika melintasi
miqot, maka sebaiknya mengenakan pakaian ihram dari bandara udar a di Jakarta
dengan niat ihram di pesawat saat memasuki miqot yang telah ditentukan oleh
Rasulullah saw. Adapun memakai dan berniat ihram di Bandara King Bin Abdul Aziz
sebenarnya merupakan fatwa para ulama kontemporer seperti Syekh Abdullah Bin
Zaid, Ketua Dewan Syariah di Qatar, dan ini pendapat golongan mazhab Maliki.
Kemudian perlu diketahui bahwa mazhab Maliki tumbuh dan berkembang bermula dari
kota Medinah bukan dari Iraq, selain itu, Imam Maliki tidaklah kurang dalam
rujukan hadist, bahkan sebaliknya, sebelum kitab-kitab hadits bermunculan
seperti Sahih Bukhari dan Muslim, maka Imam Malik lebih dulu menyusun kitab
hadits yang kemudian dikenal dengan kitab Muwatha.Wallaahua'lam
Bagaimana
melakukan Ihram Haji Tamattu ?
JAWAB
:
Bagi
seorang yang berhaji Tamattu, maka setelah umrahnya usai ia kembali menjadil
halal, artinya semua larangan ihram untuk umrah tak lagi berlaku baginya. Lalu,
ia menunggu sampai tibanya hari Tarwiyah, tanggal 8 Dzulhijjah, dimana pada tanggal
itu ketika waktu zawal (bergesernya matahari) ia wajib kembali niat berihram
untuk haji dengan mengucapkan Talbiyyah Labbaika hajjan (aku datang memenuhi
panggilan-Mu untuk haji). Maka sejak itu semua larangan ihram kembali berlaku
atas dirinya. Adapun berangkat ke Mina untuk bermalam di sana pada hari
Tarwiyah maka hukumnya adalah sunah. Ini merupakan pendapat semua mazhab, yaitu
Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Dengan demikian, boleh baginya pada hari
Tarwiyah langsung menuju ke Arafah untuk wukuf di sana pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Jadi, bagi jemaah haji Tamattu, baik itu yang hendak menuju ke Mina atau ke
Arafah, maka ia harus tetap berihram dan niat haji pada tanggal 8 Dzulhijjah
ketika waktu zawal (bergesernya matahari) dan ini hukumnya wajib.Wallahua'lam
Rambut
rontok ketika Ihram ?
JAWAB
:
Memang
di antara hal yang dilarang dalam ihram adalah memotong rambut dengan cara
cukur atau yang lainnya. Allah swt berfirman, ”Dan janganlah kamu mencukur
kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya”. (Al-Baqarah: 196).
Termasuk di dalamnya mencukur atau mencabut rambut atau bulu yang ada pada
badan. Lalu ada sebuah riwayat dari Atha, katanya, "Jika seseorang yang
tengah ihram mencabut tiga helai rambutnya atau lebih, hendaklah ia membayar
tebusan dengan menyembelih seekor kambing." (Diriwayatkan oleh Said Bin
Manshur). Dan Syafi'i meriwayatkan pula dari padanya, bahwa ia mengatakan,
"Pada sehelai rambut dendanya sesukat-makanan-, pada dua helai dua sukat,
dan pada tiga helai atau lebih atau lebih menyembelih seekor kambing”.Berkaitan
dengan kasus tersebut, maka hal tersebut tak dikenai denda apapun dan ihram-nya
insya Allah sah. Pasalnya, rontoknya rambut tidak dicabut dengan sengaja atau
tidak dicukur atau dipotong, karena rambut rontok sendiri. Dan ini di luar
batas kemampuan kita serta Allah swt tak ingin menyulitkan hamba-Nya, ”Allah
menghendaki kemudahan bagimu,dan tak menghendaki kesukaran bagimu. (Al-Baqarah:
185). “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan”. (Al-Baqarah: 78), ”Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu”.
(Al-Ahzab: 5). ”Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar)
apa yang Allah berikan kepadanya”. (Ath-Thalaq: 7). Bahkan bila seseorang punya
penyakit di kepalanya yang mengharuskannya bercukur, maka hal itu dibolehkan
disertai membayar fidyah, sesuai firman Allah, ”Jika ada di antaramu yang sakit
atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya bayar
fidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban...”. (Al-Baqarah:
196).Wallaahua'lam
Hukum
pakaian dalam ketika Ihram
JAWAB
:
Dalam
ihram terdapat larangan-larangan yang harus ditaati oleh jemaah. Pada dasarnya,
larangan-larangan itu terbagi kepada tiga bagian. Pertama, larangan bagi jemaah
pria dan wanita. Kedua, larangan yang khusus bagi jemaah pria. Ketiga, larangan
yang khusus bagi jemaah wanita. Dan pakaian dalam dapat dikategorikan sebagai
pakaian berjahit, serta pakaian berjahit itu termasuk salah satu larangan yang
khusus bagi pria saja. Dalilnya, “Seorang laki-laki bertanya, "Ya Rasulullah,
pakaian apakah yang dikenakan seorang yang tengah Ihram?" Rasulullah
mengatakan, "Ia tak boleh mengenakan baju (kemeja), tidak pula serban,
baju celana dan celana... (HR. Bukhari). Para ulama sepakat bahwa larangan-larangan
dalam hadits di atas hanya diperuntukkan bagi jemaah pria. Maka, semua baju
yang berjahit dan dibuat seperti bentuk tubuh manusia, seperti pakaian dalam,
tak boleh dikenakan oleh jemaah haji pria. Jadi, para wanita boleh memakai
pakaian dalamnya ketika ihram.Wallaahua'lam
Berihram
ketika Haidh ?
JAWAB
:
Wanita
yang tengah haidh boleh berihram untuk haji atau umrah dan ia dapat melakukan
semua rangkaian ibadah haji kecuali Thawaf di Baitullah. Maka ketika hendak
Thawaf ia harus menunggu sampai ia kembali suci. Dasarnya adalah karena
Rasulullah telah memerintahkan Aisyah r.a. agar ia melakukan haji sebagaimana
orang-orang berhaji kecuali Thawaf di Baitullah (Muttafaq 'alaih). Wallahua'lam
Urutan
Amalan Ibadah Haji Tamattu'
JAWAB
:
Haji
Tamattu' adalah cara pengerjaan manasik haji dengan terlebih dahulu mengerjakan
ihram untuk umrah pada bulan-bulan haji, lalu setelah mengerjakan umrah ia
bertahallul dan menunggu sampai tanggal 8 Dzulhijjah, dan pada tanggal 8
Dzulhijjah itu ia kembali berihram untuk niat haji. Bagi orang yang melakukan
haji Tamattu' maka ia harus menyembelih seekor kambing.
Adapun
rinciannya, (1) Sebelum tanggal 8 Dzulhijjah, ketika Anda tiba di Miqot
Yalamlam, Anda mulai berniat ihram dengan pakaian ihram untuk pengerjaan umrah.
Niatnya dengan mengucapkan Labbaika Allaahumma 'Umratan. (2) Setibanya di Mekkah
Anda langsung Thawaf Qudum di Ka'bah (3) Dilanjutkan dengan Sa'i antara Shafa
dan Marwah (4) Dan terakhir Anda bertahallul. Semua amalan di atas merupakan
amalan umrah dan dikerjakan sebelum tanggal 8 Dzulhijjah.
TANYA
JAWAB HAJI
Apabila
kita telah bertahallul maka semua larangan bagi orang yang berihram tak berlaku
lagi sampai tiba tanggal 8 Dzulhijjah dimana pada tanggal itu kita kembali
memakai pakaian ihram dan berniat ihram untuk haji dengan mengucapkan Labbaika
Allaahumma Hajjan. Sejak itu semua larangan ihram kembali berlaku.
Berikut
urut-urutan amalan haji Tamattu': (1) Setelah memakai pakaian ihram dan berniat
untuk haji pada tanggal 8 Dzulhijjah, maka dari tempat penginapan Anda pergi ke
Mina. Di Mina Anda melakukan shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh.
Untuk shalat yang empat rakaat diqashar dengan tanpa dijama' (2) Setelah
matahari terbit pada tanggal 9, Anda berangkat ke Arafah untuk wuquf. Di Arafah
Anda shalat Dzuhur dan Ashar dengan diqashar dan jama' taqdim. (3)
Masih
di Arafah, setelah matahari terbenam, Anda bertolak ke Muzdalifah dan shalat
Maghrib dan Isya di sana dengan dijama dan diqashar, lalu mengambil batu
kerikil untuk melontar jumrah Aqabah, dan Anda bermalam di Muzdalifah sampai
terbit fajar serta shalat Shubuh. (4) Pada 10 Dzulhijjah, setelah Shalat Shubuh
di Muzdalifah maka Anda segera bertolak menuju Mina untuk melontar Jumrah
Aqabah, menyembelih korban, tahallul kecil, dan pergi ke Mekkah untuk Thawaf
Ifadhah dan Sa'i. Jika Anda telah menyelesaikan thawaf Ifadhah dan Sa'i maka
Anda melakukan Tahallu Kubro, yang artinya semua larangan ihram tak berlaku lagi
bagi Anda. (5) Tanggal 11, Anda bermalam di Mina dan melontar 3 Jumrah setelah
Dzuhur (6) Tanggal 12, Anda bermalam lagi di Mina dan melontar 3 Jumrah setelah
Dzuhur. Setelah itu, jika Anda hendak mengambil nafar awwal maka Anda harus
keluar dari Mina sebelum matahari terbenam. Tapi kalau Anda hendak mengambil
nafar tsani atau setelah terbenam matahari Anda masih berada di Mina maka Anda
harus bermalam satu malam lagi di Mina. (6) Terakhir sebelum Anda meninggalkan
Mekkah maka Anda terlebih dahulu melakukan thawaf Wada' atau thawaf
perpisahan.Wallaahua'lam
Hadats
kecil dalam Thawaf, bagaimana hukumnya ?
JAWAB
:
Perlu
diketahui bahwa di antara syarat Thawaf menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan
Hanbali adalah suci dari hadats dan najis. Pasalnya, menurut mereka Thawaf itu
seperti shalat. Hal ini berdasar kepada hadits : ”Thawaf di Baitullah itu
shalat, tapi Allah membolehkan padanya (Thawaf) untuk berkata-kata, maka
barangsiapa berkata-kata padanya hendaklah jangan berkata-kata kecuali hal yang
baik”. (HR Ibnu Hibban dan Hakim). Adapun menurut mazhab Hanafi, suci dari
hadats bukanlah syarat sahnya Thawaf, dasarnya firman Allah ”…dan hendaklah
mereka melakukan Thawaf di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)”.
(Al-Hajj: 29). Menurut mazhab Hanafi ayat itu masih bermakna global atau umum,
artinya tanpa diembel-embeli syarat suci dari hadats. Adapun mengenai hadits
yang menyebutkan bahwa Thawaf itu seperti shalat, mazhab Hanafi menjelaskan
bahwa hadits di atas hadits Ahad, dimana hadits Ahad tak bisa mengkhususkan
makna surat Al-Hajj ayat 29 itu.
Namun
demikian menurut hemat para ulama, suci dari hadats itu merupakan syarat sahnya
Thawaf. Sebab ini diperkuat oleh hadits lain, yaitu : Aisyah menyebutkan bahwa
yang pertama kali dikerjakan Rasulullah saw ketika tiba, ia berwudhu kemudian
berthawaf di Baitullah. (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim) . Bila kita tengah
berthawaf lantas terkena hadats kecil dan belum sempat menyelesaikan satu
putaran penuh (belum sampai ke garis coklat di mana kita memulai Thawaf), maka
thawaf dimulai lagi dari tempat ketika kita terkena hadats kecil
tadi.Wallaahua’lam
Doa
ketika Thawaf dan Sai dengan bahasa Indonesia ?
JAWAB
:
Memang
problem orang yang tak mengerti Bahasa Arab adalah ketika ia berdoa dan
terutama ketika membaca Alqur'an maka ia tak memahami secara langsung apa yang
tengah ia minta atau yang tengah ia baca. Akibatnya, seperti apa yang banyak
terjadi, maka ia kurang bisa meresapi dan menghayati inti dari doanya atau
bacaannya itu. Perlu diketahui bahwa ketika seseorang berthawaf atau berdoa
maka boleh baginya berdoa dengan doa yang disukainya dan dengan bahasa apapun.
Karena Allah sendiri toh Maha Mengetahui apa yang kita minta dan kita mohonkan.
Kendati demikian sangat dianjurkan untuk membaca doa-doa yang ma'tsuur, artinya
doa-doa yang datangnya dari Nabi saw, sebab isinya ringkas, padat dan lebih
terhindar dari sikap berlebihan dalam berdoa. Jadi, kita dibolehkan berdoa
apapun dan dengan bahasa apapun ketika sedang thawaf dan sai. Logikanya
sederhana saja, bagaimana kita akan khusyu dalam berdoa sedangkan kita sendiri
tak mengerti apa yang sebenarnya sedang kita minta. Kendati demikian, meski
dibolehkan berdoa apapun dan dengan bahasa apapun maka kita tetap harus
memperhatikan adab dan etika berdoa. Ringkasnya, Allah dalam Alqur'an tak
pernah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar berdoa dengan bahasa Arab, tapi Allah
hanya berfirman, ”Dan Tuhanmu berfirman, "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya
akan Kuperkenankan bagimu..." (QS Al-Mu'min:60).Wallaahua'lam
Kebanyakan
jamaah haji Indonesia pada hari Tarwiyah 8 Dzulhijjah langsung menuju ke Arafah
dan bermalam di sana, sementara ada dalil yang menyatakan bahwa Rasulullah saw
pada tanggal tersebut menuju Mina dan bermalam di sana, bagaimana ini ?
JAWAB
:
Memang
sunahnya bagi jemaah haji agar pada tanggal 8 Dzulhijjah bertolak ke Mina. Di
Mina ia shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh pada tiap-tiap waktunya
dengan cara diqashar masing-masing dua rakaat kecuali Maghrib dan Subuh. Semua
shalat itu tanpa dijama'. Hal ini seperti hadits Jabir bin Abdullah ketika
menceritakan hajinya Rasulullah saw, katanya : ”Tatkala tiba hari Tarwiyyah,
mereka pun bertolak menuju Mina lalu berihram dengan haji. Rasulullah saw
menaiki kendaraannya dan di sana melakukan shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya
dan Subuh”. (HR Muslim).
Kemudian
semua mazhab fiqih, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali menjelaskan
maksud dalil di atas, mereka semua sepakat bahwa bermalam di Mina pada hari
Tarwiyyah hukumnya sunah dan bukan merupakan rukun atau wajib haji. Imam Nawawi
mengatakan, maka menurut sunah pula hendaklah seseorang menunaikan shalat yang
lima waktu itu di Mina dan supaya bermalam di sana pada tanggal 8, yang
hukumnya ialah sunah serta tak perlu membayar denda jika ketinggalan. Jadi
bertolak dan bermalam ke Mina pada hari
Tarwiyyah hukumnya sunah, tapi kendati demikian jemaah sangat dianjurkan untuk
menjalankan sunah ini.Wallahua'lam
Bagaimana
hukum mencium Hajar Aswad dan tata caranya ?
JAWAB
:
Banyak
sekali hadits yang menyinggung tentang mencium Hajar Aswad, di antaranya hadits
Rasulullah saw, Dari Abdullah bin Sarjis ra berkata, saya lihat yang botak,
Umar bin Khattab ra, tengah mencium Hajar Aswad sembari berkata, “Demi Allah
saya akan menciummu, dan sungguh saya tahu bahwa kamu hanyalah batu yang tak
dapat memberi manfaat atau pun madharat, dan andai saya tak melihat Rasulullah
telah menciummu maka niscya saya tak akan menciummu.” (HR Muslim) . Adapun
mencium Hajar Aswad hukumnya sunah serta tata cara atau adab-adabnya adalah
dimulai dengan menghadap Hajar Aswad ketika memulai tawaf sembari membaca
takbir dan tahlil lalu mengusap Hajar Aswad itu dengan kedua tangannya kemudian
menciumnya dan jika memungkinkan manaruh pipi di atasnya. Jika cara di atas
sangat sulit maka ia boleh menyentuh Hajar Aswad itu dengan tangannya atau
barang lain yang dipegangnya lalu tangan atau barang itu ia cium. Jika ini juga
tak mungkin maka ia boleh memberi isyarat kepada Hajar Aswad itu dengan tangan
atau barang lainnya seperti tongkatnya. Jadi mencium atau mengusap Hajar Aswad
dilakukan sebelum tawaf dimulai. Sabda Nabi saw, Tatkala Rasulullah saw tiba di
Makkah ia mendatangi Hajar Aswad lalu mengusapnya, kemudian ia berjalan di
sebelah kanannya dan berjalan cepat tiga kali serta berjalan biasa empat kali
(bertawaf)..Wallahua’lam
Bagaimaan
hukum mabit di Muzdalifah dan hari Tarwiyyah ?
JAWAB
:
Pergi
ke Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah (Tarwiyyah) hukumnya sunah. Sementara itu
mabit di Muzdalifah dan melontar Jumrah merupakan wajib haji, artinya bila tak
dikerjakan maka hajinya tetap sah namun dia harus membayar denda (dam).
Berkaitan
dengan bermalam di Muzdalifah para ulama berbeda pendapat apakah harus bermalam
di Muzdalifah sampai fajar menyingsing atau sekedar singgah saja untuk shalat
Maghrib dan 'Isya (dijama'). Dalam hal ini mazhab Hanbali berpendapat bahwa
mabit di Muzdalifah hanya setengah malam. Sementara mazhab Maliki berpendapat
bahwa di Muzdalifah hanya mampir saja untuk melaksanakan shalat fardhu dan
istirahat sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina.
Melihat
kondisi jamaah haji dari ke hari kian padat, maka apabila dengan bermalamnya di
Muzdalifah akan menimbulkan kesulitan besar, seperti padatnya saat melontar
Jumrah Aqobah di Mina, maka bagi jamaah yang lemah, lansia, anak-anak dan sejenisnya lebih baik memilih mazhab
Maliki. Perlu diketahui bahwa biasanya perjalanan dari Arafah ke Muzdalifah mengalamai
kemacetan sehingga terkadang mengalamai keterlambatan untuk sampai ke
Muzdalifah. Walaahua’lam
Saya
telah bersa’i antara Shofa dan Marwah sebanyak 4 putaran, lalu karena letih
akhirnya saya duduk-duduk untuk istirahat, apakah saya harus mengulang dari
awal lagi atau langsung menyempurnakan Sa’i saya? Kemudian jika wudlu saya
batal ketika bersa’i, apakah Sa’i saya yang telah dilakukan juga ikut batal dan
wajib bersa’i kembali dari awal setelah berwudlu ?
JAWAB :
Menurut
mayoritas ahli fiqih, pelaksanaan Sa’i antara Shofa dan Marwah tanpa
terputus-putus hukumnya sunah dan bukan syarat sahnya Sa’i, karena itu Sa’i
yang diselingi dengan duduk-duduk istirahat tetap sah, asalkan menyempurnakan
sisa putaran Sai’nya. Hanya Imam Malik yang mensyaratkan pelaksanaan Sai’ tanpa
terputus-putus atau sekaligus.
Kemudian,
suci dari hadats kecil bukanlah syarat sahnya Sa’i, sebab Nabi saw tak melarang
apapun atas Aisyah ketika ia tengah haidh kecuali dari Tawaf, seperti
diriwayatkan Imam Muslim. Bahkan Abdullah Bin Umar pernah bersa’i antara Shofa
dan Marwah, kemudian ia buang air kecil, setelah itu beliau langsung
melanjutkan Sa’inya. Wallahua’lam.
Bagaimana
hukum mabit di Masy’aril Haram ?
JAWAB :
Masy’aril
Haram adalah suatu tempat di ujung Muzdalifah dimana Rasulullah dahulu pernah
berdo’a dan memungut batu untuk selanjutnya melontar di Mina. Untuk saat sekarang,
pada saat jemaah haji bermalam di Muzdalifah, Masy’aril Haram menjadi padat
karena disesaki oleh kendaraan yang tengah mabit. Sebenarnya Masy’aril Haram
merupakan daerah bukit yang nama aslinya adalah Quzah. Memang Masy’aril Haram
tersebut dalam Al-Qur’an bahkan dalam hadits. Allah swt berfirman : ”…Maka
apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril
Haram…” (Al-Baqarah: 198).
Dalam
Hadits Jabir Bin Abdillah ra, bahwa Nabi saw tiba di Muzdalifah, maka ia pun
melakukan shalat Magrib dan ‘Isya di sana dengan sekali adzan dan dua qomat,
tanpa melakukan shalat sunat apapun di antara keduanya, lalu ia berbaring
sampai terbit fajar, maka dikerjakannyalah shalat Subuh ketika fajar diketahui
dengan sekali adzan dan sekali qomat, kemudian ia menaiki unta Qoshwa hingga
tiba di Masy’aril Haram, maka ia pun menghadap kiblat lalu berdo’a kepada
Allah, membaca takbir, tahlil dan tauhid. Ia terus berdiri, sampai hari telah
demikian terang, lalu berangkat sebelum matahari terbit. (HR Muslim)
Jadi,
meski Masy’aril haram tersebut dalam Al-Qur’an dan Hadits, tapi mabit di
Masy’aril Haram memang tak diperintahkan. Dalam Al-Baqarah ayat 198 dan hadits
di atas jelas bahwa setelah Nabi saw mabit di Muzdalifah dan shalat Subuh lalu
beliau berangkat menuju Masy’aril Haram untuk berzikir, bertahmid, bertahlil,
bertauhid dan berdo’a kepada Allah. Amalan di Masy’aril Haram dapat dilakukan
jika memang memungkinkan, pasalnya untuk saat ini, kala musim haji tiba, maka
pada tanggal 10 Dzulhijjah daerah Masy’aril Haram dipadati dengan kendaraan,
sehingga akan menyulitkan jemaah haji sendiri.
Sebenarnya
yang terpenting bagi jemaah adalah mabit di Muzdalifah di bagian mana pun,
asalkan tempat itu masih dalam wilayah Muzdalifah. Dan mabit di Muzdalifah termasuk
wajib haji, jika seorang jemaah haji tak mabit di Muzdalifah maka ia dikenai
Dam. Sedangkan datang ke Masy’aril Haram untuk berzikir dan berdo’a di sana
hanya sekedar anjuran saja atau sunah menurut semua mazhab, yaitu Hanafi,
Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Namun demikian jika yang dimaksud dengan Masy’aril
Haram di sini adalah Muzdalifah maka memang jemaah haji wajib mabit (bermalam)
di Masy’aril Haram (baca: Muzdalifah), sebab nama lain dari Muzdalifah adalah
Muzdalifah itu sendiri, lalu Jama’ dan Masy’aril Haram.Wallahu’alam.
Bagaimana
tata cara Melempar Jumroh ?
JAWAB
:
Pertama,
ketika melempar jumroh maka tak ada dalil apapun yang mengharuskan lemparan itu
mengenai tiang yang berada di tengah lubang, sebab tiang itu hanya sekedar
tanda saja, jadi kita cukup melempar ke lubangnya saja.
Kedua,
hal ini berkaitan dengan hadits, dari Ibnu Umar ra, bahwasanya dia melempar
jumroh dengan tujuh buah batu kerikil sembari bertakbir setelah masing-masing
kerikil...Maka ia mengatakan, "Beginilah saya melihat Nabi saw
melakukannya." (HR Bukhari). Jadi, sesuai hadits di atas maka sebaiknya
Anda mengucapkan Allahu Akbar saja setiap kali melemparkan satu kali lemparan.
Ketiga,
berkaitan dengan arah melempar jumroh Ula dan Wustho, maka ketika kita
melemparnya maka jadikanlah Mekkah di sebelah kiri Anda dan Mina di sebelah
kanan kita. Keempat, disunahkan setelah melempar jumroh Ula dan Wustho untuk
berdo'a. Adapun setelah melempar jumroh Aqabah maka tak disunahkan untuk
berdo'a. (HR Bukhari dan Ahmad). Dan tak ada do'a khusus yang diucapkan setelah
melempar jumroh Ula dan Wustho. Artinya, boleh berdo'a apa saja, baik untuk
diri sendiri maupun untuk kaum muslimin.Wallaahua'lam.
Apa
yang dimaksud dengan dam (denda) saat berhaji ?
JAWAB :
Dam
adalah denda atau tebusan bagi mereka yang menunaikan haji atau umrah tetapi
melakukan pelanggaran ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan.
Pelanggaran itu misalnya melakukan larangan-larangan ihram atau tidak dapat
menyempurnakan wajib haji seperti mabit di Mina atau Muzdalifah.
Para
ulama telah bersepakat bahwa seseorang yang menunaikan ibadah haji akan
dikenakan Dam manakala melakukan antara lain pelanggaran-pelanggaran sebagai
berikut yaitu, melakukan haji Qiran atau Tamattu', tidak ihram dari Miqot, tidak
Mabit di Muzdalifah, tidak melontar Jumrah dan bentuk pelanggaran lainnya. Bagi
seorang jemaah yang melakukan pelanggaran maka ia wajib menyembelih seekor
kambing atau sepertujuh unta atau sepertujuh sapi yang dagingnya dibagi-bagikan
untuk fakir miskin.Wallaahu'alam.
Bagaimana
kedudukan hukum Shalat Arbain di Masjid Nabawi ?
JAWAB
:
Masjid
Nabawi merupakan salah satu dari tiga masjid yang memiliki keutamaan lebih
dibanding masjid-masjid lainnya. Ini didasarkan atas hadits Rasulullah saw,
”Satu kali shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi di Medinah), lebih besar
pahalanya dari seribu kali shalat di tempat lainnya, kecuali di Masjid Haram”,
(HR Muslim). Karena itu, Nabi saw sangat menganjurkan untuk berkunjung ke 3
masjid itu. Sabdanya, ”Tidak selayaknya dipersiapkan kendaraan kecuali untuk
pergi ke tiga masjid, yaitu masjidku ini, Masjid Haram dan Masjid Al-Aqsha”.
(HR Muslim)
Adapun
yang berkaitan dengan keutamaan mengejar arbain di Masjid Nabawi maka landasan
dalilnya adalah, Dari Anas bin Malik ra, dari Nabi saw bersabda,
"Barangsiapa yang shalat di masjidku sebanyak 40 kali shalat, dan tidak
luput satu kali shalat pun, maka Allah memastikan baginya terbebas dari api
neraka, terbebas dari siksa serta ia terhindar dari kemunafikan." (HR
Ahmad dan Thabrani). Oleh karena itu, biasanya jemaah haji bermukim di Medinah
selama 8 hari, hal ini dimaksudkan agar mereka dapat melakukan shalat berjamaah
5 waktu secara berurut-turut selama 8 hari, dengan demikian mereka dapat
melakukan shalat sebanyak 40 kali.Wallahua'lam.
Bagaimana
hukumnya melempar Jumrah diwakilkan ?
JAWAB
:
Melontar
Jumroh, baik itu pada tanggal 10, 11, 12 atau 13 Dzulhijjah merupakan wajib
haji, artinya apabila ditinggalkan maka ia wajib membayarkan Dam dan hajinya
tetap sah. Sabda Nabi saw, Dari Jabir ra berkata, saya melihat Nabi saw
melempar Jumrah dari atas kendaraannya pada hari Nahar dan beliau bersabda,
“Hendaklah kalian mengambil tata cara manasik kalian dariku, karena aku tak
tahu apakah aku masih dapat berhaji lagi setelah haji ini.” (HR Ahmad, Muslim
dan Nasa’i). Kemudian melontar jumrah boleh diwakilkan atau digantikan oleh
orang lain dikarenakan ditimpa sakit, usia lanjut, wanita hamil, anak-anak atau
orang-orang yang fisiknya lemah dan tak memungkinkan berdesak-desakkan.
Rasulullah
bersabda,
Dari
Jabir ra berkata, kami berhaji bersama Rasulullah saw dan bersama kami ikut
pula wanita-wanita dan anak-anak. Maka kami membaca talbiyyah untuk anak-anak
itu dan kami juga melontar (jumrah) buat mereka.. (HR Ibnu Majah).
Wallahua’lam
Kapankah
Waktu Melontar Jumrah ?
JAWAB
:
Melontar
Jumrah, yaitu Jumrah Aqabah pada tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah merupakan
wajib haji, artinya apabila tak dikerjakan maka ia dikenai Dam. Adapun waktu
melontar Jumrah Aqabah untuk tanggal 10 Dzulhijjah yaitu setelah terbitnya
matahari. Ini sesuai sabda Rasulullah saw, Janganlah kalian melontar sampai
matahari terbit (HR Khamsah). Dan waktu melontar Jumrah untuk tanggal 11, 12
dan 13 adalah setelah Zawwal (matahari mulai tergelincir ke arah barat) sampai
matahari tenggelam pada setiap tanggal-tanggal itu. Ini sesuai keterangan Ibnu
Abbas, Bahwa Rasulullah saw telah melontar Jumrah ketika matahari tergelincir
ke arah barat.. Kemudian, jika Anda keliru dalam waktu melontar Jumrah maka
haji Anda tetap sah. Terakhir mengenai denda (Dam) maka pelaksanaannya harus di
Tanah Haram, dan jika ia telah pulang ke negaranya maka sebenarnya Anda bisa
menitipkannya agar pelaksanaan Dam itu di Tanah Haram, terlebih saat ini dimana
komunikasi semakin udah.Wallahua’lam
Bagaimana
pelaksanaan Dam Haji Tamattu’ ?
JAWAB
:
Dam
adalah denda atau tebusan bagi mereka yang menunaikan ibadah haji atau umrah
tetapi melakukan pelanggaran ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan,
seperti melakukan haji Qiran atau Tamatu. Jenis Dam itu meliputi unta, sapi dan
kambing domba atau kambing kacang. Sapi atau unta cukup untuk tujuh orang.
Adapun syarat-syarat hewan Dam dan teknisnya adalah,
(1)
Usianya mencapai 5 tahun untuk unta, 2 tahun untuk sapi, 1 tahun untuk kambing
kacang dan 6 bulan untuk kambing domba. Ini seperti hadits yang diriwayatkan
Imam Muslim.
(2)
Hewan Dam itu tidak memiliki cacat atau aib seperti buta sebelah,
sakit-sakitan, pincang dan amat kurus.
(3)
Hewan Dam itu disembelih di Mina atau Mekkah atau di tanah suci lainnya sesuai
hadits : ”Seluruh Arafah adalah tempat wukuf, seluruh Mina adalah tempat
penyembelihan, seluruh Muzdalifah adalah tempat wukuf dan setiap penjuru Mekkah
adalah jalan dan tempat penyembelihan”. (HR Abu Dawud).
(4)
Waktu penyembelihan pada hari raya Iedul Adha usai shalat atau setelah matahari
meninggi sepanjang satu tombak (kira-kira jam 07.00 pagi hari) atau pada
tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Wallahua’lam
Apa
kaitannya antara Shalat Arbain dengan amalan haji ?
JAWAB
:
Dalam
ibadah haji ada yang namanya Rukun, Wajib dan Sunah Haji. Rukun Haji adalah
amalan-amalan haji yang apabila tidak dikerjakan maka hajinya tidak sah dan
harus diulang. Rukun Haji itu adalah:
(1)
Ihram, yaitu niat memulai ibadah haji.
(2)
Wuquf di Arafah.
(3)
Thawaf Ifadhah.
(4)
Sa'i antara Shafa dan Marwah. Kemudian yang kedua adalah Wajib Haji, yaitu
amalan-amalan haji yang apabila ditinggalkan maka hajinya tetap sah namun ia
harus membayar Dam atau denda.
Wajib
Haji itu adalah:
(1)
Ihram dari Miqot
(2)
Wuquf di Arafah sampai terbenam matahari pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah
(3)
Mabit di Muzdalifah pada malam Iedul Adha sampai shalat Subuh
(4)
Melontar Jumrah 'Aqabah pada hari raya dan melontar jumrah pada hari-hari
Tasyriq
(5)
Cukur gundul
(6)
Mabit di Mina
(7)
Thawaf Wada'.
Jadi
sebenarnya shalat Arbain di Madinah atau bahkan berziarah ke Madinah sama
sekali bukan bagian dari rangkaian amalan haji atau manasik haji. Shalat Arbain
itu bukan bagian dari Rukun atau pun Wajib Haji. Dengan demikian apabila tak
shalat Arbain di Masjid Nabawi maka haji Anda tetap sah. Wallaahu'alam
Apa
yang dimaksud dengan Haji Akbar ?
JAWAB
:
Sebenarnya
kata Al-Hajj Al-Akbar (Haji Akbar) terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Pertama,
hadits Rasulullah saw, Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw berdiri pada
hari Nahar (10 Dzulhijjah) dalam haji yang beliau tunaikan. Beliau berkata,”Hari apakah ini?” Mereka
menjawab, “Hari Nahar.” Maka beliau mengatakan, “Ini adalah Hari Haji Akbar.”
(HR Abu Dawud).
Kedua,
kata Al-Hajj Al-Akbar terdapat dalam Al-Qur’an, ”Dan (inilah) suatu permakluman
daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar…”
(At-Taubah : 3).
Para
ahli tafsir berbeda pendapat ketika menafsirkan Al-Hajj Al-Akbar di sini,
yaitu,
(1)
Haji Akbar adalah Hari Nahar;
(2)
Haji Akbar adalah hari Arafah;
(3)
Haji Akbar adalah semua amalan yang ada pada hari Nahar; (4) Haji Akbar adalah
haji yang terjadi pada tahun ke-9 Hijriyah.
Kendati
demikian, dari penafsiran-penafsiran Haji Akbar di atas, tak ada satu pun yang
mendefinisikan Haji Akbar itu adalah haji yang apabila hari Arafahnya jatuh
pada hari Jum’at. Jadi, tak ada satu dalil pun yang menunjukkan bahwa Haji
Akbaradalah haji yang apabila hari Arafahnya jatuh pada hari Jum’at, dan
definisi keliru inilah yang memang dikenal masyarakat kita. Wallahua’lam
Tawaf
Ifadhah tanpa pakaian Ihram ?
JAWAB
:
Setelah
Anda melontar Jumrah pada 10 Dzulhijjah maka Anda melakukan Tahallul pertama
atau Tahallul Al-Ashghar (kecil), ini artinya Anda tak terikat lagi dengan
larangan-larangan ihram, seperti larangan mengenakan pakaian berjahit, kecuali
menggauli isteri. Jadi, setelah melontar jumrah aqobah Anda diperbolehkan
memakai pakaian seperti biasa (pakaian berjahit) untuk kemudian pergi ke Mekkah
untuk melakukan tawaf ifadhah.
Adapun
Tahallul pertama ini ditandai dengan mencukur gundul atau memendekkan rambut,
kendati demikian mencukur gundul lebih utama. Pencukuran rambut ini khusus bagi
jemaah pria, adapun bagi jemaah wanita tidak ada.Wallahua'lam
Saya
mau bertanya, adakah hadits yang menerangkan berapa kilometer jaraknya antara
Miqat dengan Ka'bah ?.
Dan
yang sering diajarkan pembimbing haji bahwa ihram akan dikenakan di Bandara
King Abdul Aziz, padahal miqat jama'ah Indonesia (gelombang-2) adalah di
Yalamlam. Bagaimana saya harus bersikap ?
JAWAB
:
Dalam
hadits-hadits Rasulullah saw tak disebutkan tentang jarak antara tempat-tempat
miqat itu dengan Ka'bah. Nabi saw hanya menyebutkan nama-nama daerah untuk
tempat miqat serta untuk penduduk-penduduk mana saja tempat-tempat miqat
tersebut. Kendati demikian dapat saya sebutkan jarak antara miqat-miqat itu
dengan kota Mekkah sebagai berikut :
Zulhulayfah
(Bier Ali), letaknya sekitar 420 km dari Mekkah, merupakan miqat bagi orang
yang datang dari arah Medinah dan orang yang melaluinya. Miqat ini merupakan
miqat terjauh dari Mekkah.
Al-Juhfah,
sekitar 187 km dari Mekkah, merupakan miqatnya jemaah yang datang dari Syam
(Suriah), Mesir, Maroko atau yang searah. Setelah hilangnya ciri-ciri
Al-Juhfah, maka miqat ini diganti dengan miqat lainnya yakni Rabigh, jaraknya sekitar
186 km dari Mekkah.
Yalamlam,
sebuah bukit di sebelah selatan sekitar 120 km dari Mekkah, merupakan miqatnya
orang Yaman dan Asia. Miqat ini juga
dinamakan dengan Sa'diyah.
Qarnul
Manazil, yakni miqat penduduk Najd dan orang yang melewatinya. Miqat ini sekarang
dinamakan Sailul Kabir, jaraknya dengan Mekkah sekitar 78 km.
Dzatu
Irqin, sekitar 100 km ke utara Mekkah. Miqat ini dinamakan juga dengan
Dharibah dan diperuntukkan bagi penduduk Irak serta yang searah dengan mereka. Untuk
jemaah haji asal Indonesia biasanya Miqat Makaninya dari Yalamlam. Jika Anda
melewati Yalamlam serta belum berniat dan memakai pakaian ihram maka Anda
terkena Dam.
Biasanya
ketika di pesawat ada pengumuman bahwa pesawat sebentar lagi akan lewat
Yalamlam, namun demikian masalahnya adalah akan terjadi kesulitan besar
manakala semua jemaah mandi, shalat dan berpakaian ihram dalam pesawat, karena
itu sebagai jalan keluarnya Anda dibolehkan memakai pakaian ihram sebelum
sampai di miqat atau sebelum naik pesawat atau di Asrama haji beberapa saat
sebelum Anda ke bandara, tapi niat ihram dan talbiyyahnya harus ketika sampai
di miqat. Dan inilah yang menurut hemat saya lebih mudah dan saya anjurkan,
sebab dengan cara ini Anda tak melewati miqat Yalamlam. Adapun memakai dan
berniat ihram di Bandara King Bin Abdul Aziz sebenarnya merupakan fatwa para
ulama kontemporer seperti Syekh Abdullah Bin Zaid, Ketua Dewan Syariah di
Qatar, dan ini pendapat golongan mazhab Maliki.Wallahua'lam
Mencium
Hajar Aswad, hukumnya ?
JAWAB
:
Sebenarnya
mencium hajar aswad bukanlah suatu keharusan. Begitu pula mencium hajar aswad
bukan termasuk rukun atau wajib haji tapi hanya termasuk sunah dalam Thawaf.
Adapun dalil disyariatkannya mencium hajar aswad adalah, Dari Abdullah bin
Sarjis ra, ia berkata, "Saya melihat yang botak, Umar bin Khattab ra
mencium hajar aswad sembari mengatakan, "Demi Allah saya akan menciummu,
dan sungguh saya tahu bahwa kamu hanyalah batu dan kami tak dapat memberi
manfaat atau madharat, dan andai saya tak melihat Rasulullah saw menciummu
tentullah saya juga tak akan menciummu." (HR Muslim).. Adapun ketika
mencium hajar aswad tak ada do'a khusus, tapi yang ada adalah berdo'a ketika
mengusap hajar aswad. Dalilnya, Bahwa Nabi saw datang ke Ka'bah, lalu diusapnya
hajar aswad sambil membaca "Bismillaah allaahu akbar" (HR Ahmad)
Wallahua'lam
Berapa
kali seorang jamaah haji Tamattu’ melakukan Tahalul (termasuk umrahnya) ? Jika
mencukur gundul itu disunahkan, pada Tahalul yang manakah kita harus mencukur
gundul ?. Ada yang mengatakah bahwa thawaf adalah pengganti shalat Tahiyatul
Masjid, jika ya, apakah setiap kali kita akan shalat di masjid Al-Haram harus didahului
dengan thawaf ?. Dan samakah jumlah putarannya ?
JAWAB
:
Bagi
jamaah yang melakukan haji Tamattu maka ia akan menjalani tiga kali Tahallul.
Pertama, Tahalull dari Umrah, kedua Tahallul Al-Ashghar atau Kecil, yaitu
setelah melontar Jumrah Aqabah pada hari Raya Iedul Adha, dan terakhir Tahallul
Al-Akbar, yaitu setelah thawaf Ifadhah dan Sai.
Terkait
dengan mencukur gundul, maka itu dilakukan pada Tahallul Al-Ashghar. Dan
terakhir terkait dengan shalat Tahiyyatul Masjid, maka para ulama berbeda
pendapat. Pertama mengatakan bahwa thawaf sebagai pengganti shalat Tahiyyatul
Masjid di Masjid Al-Haram. Imam Nawawi mengatakan, Tahiyyat Al-Masjidil Haram
itu Thawaf bagi orang pendatang, adapun bagi yang bermukim maka hukum
Al-Masjidil Al-Haram dan selainnya dalam hal ini adalah sama. (lihat Fathul
Baari, Juz. 2/412). Adapunn cara thawaf itu putarannya sama saja. Kedua
mengatakan bahwa hukum Masjid Al-Haram dengan masjid lainnya sama saja.
Artinya, Thawaf tak dapat dijadikan sebagai pengganti dari shalat Tahiyyatul
Masjid. Alasannya, hadits yang berkenaan dengan perintah shalat Tahiyyatul
Masjid bersifat global alias mencakup juga Masjid Al-Haram. Wallaahua'lam
Oleh
pembimbing kami, untuk menghindari kecelakaan saat melontar Jumroh maka kami
hanya melakukan mabit di Mina selama semalam saja, yaitu pada tanggal 12
Dzulhijjah, kemudian pada paginya sebelum subuh sekitar pukul 02.00 dini hari
kami dibimbing untuk melontar Jumroh Aqobah yang dianggap sebagai lontaran
tanggal 10 Dzulhijjah, kemudian dilanjutkan dengan lontaran untuk tanggal 11,
12,13 Dzulhijjah yaitu dengan mengulang-ulang lontaran ke Wustho, Ula dan
Aqobah sebanyak 3 putaran. Menurut pembimbing kami, kami hanya dikenakan
membayar dam (denda) sebesar 2 Mud (bukan seekor kambing ). Mohon penjelasannya
.
JAWAB
:
Mabit
di Mina merupakan wajib haji, maka minimal Anda harus mabit di Mina pada
tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah jika Anda mengambil Nafar Awal, atau maksimal
sampai tanggal 13 Dzulhijjah jika Anda mangambil Nafar Tsani. Jika Anda mabit
di Mina tak sebagaimana mestinya, seperti hanya satu malam saja, maka Anda
harus menyembelih seekor kambing atau sepertujuh unta atau sapi di Mekkah.
Adapun
melontar Jumrah Aqobah yang dilakukan pada pagi tanggal 12 Dzulhijjah yang
dianggap sebagai lontaran tanggal 10 Dzulhijjah, maka lontarannya dianggap
terlambat, sebab batas akhir melontar Jumrah Aqobah untuk tanggal 10 Dzulhijjah
adalah sampai akhir siang tanggal 10 Dzulhijjah, dalilnya adalah: "Seorang
laki-laki berkata kepada Nabi saw, saya melontar setelah saya ada di sore hari.
Maka Nabi menjawab, tak mengapa.". Akibatnya Anda telah mengakhirkan wajib
haji dan menurut mazhab Hanafi dan Maliki Anda harus menyembelih satu ekor
kambing.
Adapun
menurut mazhab Syafi'i dan Hanbali Anda tak diwajibkan menyembelih seekor
kambing, sebab keterlambatan Anda masih pada hari-hari Tasyriq, yaitu 11, 12
dan 13 Dzulhijjah.
Kemudian
melontar Jumrah Ula, Wushta dan Aqobah pada tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah
waktunya setelah Zawwal (matahari mulai tergelincir ke arah barat) sampai
matahari tenggelam. Ini sesuai keterangan Ibnu Abbas, Bahwa Rasulullah saw
telah melontar Jumrah ketika matahari tergelincir ke arah barat.. Namun
demikian, pada saat ini jumlah jamaah haji makin banyak, sehingga ketika
melontar jumrah memicu banyak korban, dalam hal ini dibolehkan baginya untuk
melontar jumrah sebelum zawwal, pendapat kebolehan ini dikemukakan oleh tiga
imam besar dari golongan tabi'in yaitu 'Atha Bin Abi Rabah, Thawuf dan Abu
Ja'far Al-Baqir.
Mencermati
cara melontar Anda yang dilakukan pada tanggal 12 Dzulhijjah, dimana Anda
melontar sekaligus untuk tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, maka berarti
lontaran Anda untuk tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah mengalami keterlambatan,
sedangkan Anda mempercepat lontaran Anda untuk tanggal 13, artinya Anda
melontar sebelum zawwal. Karena itu lontaran Anda untuk tanggal 11 dan 12,
menurut mazhab Syafi'i dan Hanafi hukumnya sah, adapun lontaran Anda untuk
tanggal 13, menurut pendapat tiga imam besar tabi'in di atas maka lontaran sah.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa berbagai keringanan yang Anda lakukan
dalam melontar itu akan mengurangi keutamaan ibadah haji Anda, dan sebenarnya keringanan
itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang lemah, lansia, wanita hamil dan
sejenisnya.Wallahua'lam
Apakah
hadits tentang shalat arbain di masjid Nabawi itu derajatnya shahih? Apakah
kita boleh melakukan ibadah mahdhah berdasar atas hadits yang tidak shohih
apalagi dhaif ?
JAWAB
:
Hadits
yang Anda tanyakan itu adalah sebagai berikut, Dari Anas bin Malik ra, dari
Nabi saw bersabda, "Barangsiapa yang shalat di masjidku sebanyak 40 kali
shalat, dan tidak luput satu kali shalat pun, maka Allah memastikan baginya
terbebas dari api neraka, terbebas dari siksa serta ia terhindar dari
kemunafikan."
Hadits
di atas dikeluarkan dalam Majma' Az-Zawaaid, dan kata penulisnya hadits ini
diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani di dalam Al-Ausath dan para perawinya
Tsiqaat terpercaya. Selain itu hadits ini juga diriwayatkan oleh Turmudzi.
Al-Mundziri
mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh rawi-rawi yang shahih. Dengan
demikian, hadits di atas merupakan hadits shahih dan dalam ilmu hadits dikenal
kaidah bahwa penggunaan hadits dhaif dalam fasal Targhiib wa
Tarhiib,
yaitu hadits pemberi motivasi atau ancaman, dapat ditolerir dalam batas
tertentu. Apalagi hadits ihwal arbain itu rawi-rawinya terpercaya.Wallahua'lam
Apakah
Hijir Ismail itu makam Nabi Ismail dan Ibunya, ataukah bekasnya saja kemudian dipindahkan
ke tempat lain?
JAWAB
:
Hijir
Ismail adalah salah satu bagian dari Ka'bah yang dahulunya adalah bagian dari
Ka'bah itu sendiri. Hijir ini dipagari oleh tembok rendah (al-Hatim) berbentuk
setengah lingkaran dan kerap dipakai jamaah untuk shalat sunat. Menurut para
sejarawan, Hijir Ismail ini dahulu adalah tapak rumah keluarga Ibrahim. Di
situlah Nabi Ismail tinggal semasa hidupnya dan kemudian menjadi kuburan beliau
dan juga ibundanya Siti Hajar.
Ketika
Ka'bah dipugar oleh suku Quraisy pada tahun 606 M, yaitu sewaktu Nabi Muhamad
saw berusia sekitar 35 tahun, mereka kehabisan dana yang halal untuk dapat
membangun Ka'bah seukuran aslinya, karenanya mereka mengurangi panjang tembok
sisi barat dan sisi timur di bagian utara sekitar 3 meter. Itulah sebabnya luas
Ka'bah menjadi berkurang sedang luas Hijir Ismail menjadi bertambah. Itu pula
sebabnya orang yang melakukan Tawaf harus mengitari pula Hijir Ismail dan tak
sah tawafnya kalau tak mengitari Hijir Ismail, pasalnya sebagian Hijir Ismail
adalah termasuk bagian dari Ka'bah. Jadi, memang para ahli sejarah menyatakan
Hijir Ismail merupakan bekas tapak rumah keluarga Nabi Ibrahim yang kemudian menjadi
pusara kuburan Nabi Ismail dan ibundanya Wallahua'lam
----------
PENDAHULUAN
Haji
adalah merupakan ibadat fardhu yang diwajibkan, tetapi kewajipan haji agak
berlainan dengan ibadah-ibadah yang lain dari segi konsep dan kefardhuannya, di
mana ibadat haji hanya diwajibkan ke atas umat Islam yang berkemampuan
mengunjungi Baitullah di Makkah. Ada pun orang-orang yang tidak berkemampuan
dari segi bekal perjalanan, kesehatan , keselamatan perjalanan, maka tidak
diwajibkan. (QS Ali Imraan : 97)
MANUSIA
DAN IBADAH HAJI
Rata-rata
umat Islam mengakui tentang kewajipan ibadah Haji yang difardhukan, jika ada
umat Islam yang menentang dan mengingkari kefardhuannya maka kufurlah ia. Walau
bagaimana pun, umat Islam pada keseluruhannya berkaitan dengan ibadah haji ini
terbahagi kepada beberapa golongan :
-
Golongan yang berkemampuan untuk mengerjakan ibadah Haji sehingga mereka telah mengerjakannya
beberapa kali Dan berkemampuan untuk mengerjakannya beberapa kali lagi jika
mereka mau.
-
Golongan yang hanya berkemampuan untuk menunaikan ibadah Haji walaupun sekali
saja dalam hidupnya, walaupun sudah dilaksanakan atau belum
-
Golongan yang tidak berkemampuan untuk menunaikan ibadah Haji walaupun sekali
dalam hidup sedangkan keinginan dan cita-cita tetap ada.
-
Golongan yang berkemampuan dari segi perbelanjaan/perbekalan dan sebagainya
tetapi belum mengerjakan ibadah Haji dan tidak pernah terlintas untuk
mengerjakannya walaupun ia telah mampu melakukan perjalanan jauh ke
tempat-tempat lain yang lebih jauh daripada Baitullah.
Golongan
yang keempat inilah yang dikhawatirkan akan mati sebagai seorang Yahudi atau
Nasrani. Ini berdasarkan hadis Rasulullah S.A.W, artinya : ““Barangsiapa tidak
tertahan oleh kebutuhan mendesak, atau sakit yang menahannya, atau larangan
dari penguasa yang zhalim, kemudian tidak menunaikan haji, hendaklah ia mati
dalam keadaan menjadi orang Yahudi jika ia mau, dan jika mau maka menjadi orang
Nasrani”. (HR Ahmad, Abu Ya’la dan Al-Baihaqi. Hadits ini dhaif namun mempunyai
penguat).
TINGKATAN
IBADAH HAJI
Hampir
sama seperti ibadah sembahyang dan puasa, ibadah Haji mempunyai empat tingkatan
berbeda :
-
Haji Mardud : ialah haji yang tidak diterima olah Allah SWT karena kekurangan
syarat-syarat dan rukunnya atau sebab-sebab yang lain yang menyebabkan hajinya
tidak diterima atau ditolak oleh Allah SWT.
-
Haji Maqbul : ialah haji yang sah dan diterima oleh Allah SWT dan orang yang
mengerjakan haji maqbul ini dianggap sebagai telah menunaikan perintah Allah
dan telah menyempurnakan rukun Islam yang ke lima tanpa diberi ganjaran pahala.
HAJI
MABRUR DAN CARA MENCAPAINYA
-
Haji Makhsus : ibadah haji yang dikerjakan oleh orang-orang yang tertentu yang
sempurna segala syarat dan rukunnya, ia bukan saja sekadar dianggap sah dan
diterima oleh Allah tetapi diampunkan segala dosanya. Haji ini termasuk ke
dalam apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Ibnu Majah, An-Nasai dan Ahmad daripada Abu Hurairah yang artinya :
“Barangsiapa haji ke rumah ini (Baitullah), kemudian tidak berkata kotor, dan
tidak fasik, ia keluar dari dosa-dosanya seperti hari ia dilahirkan ibunya”.
Inilah
tingkatan haji yang paling tinggi dan istimewa, tidak semua bisa
mendapatkannya. Haji ini bukan saja sekadar dianggap menunaikan kewajipan,
tetapi selain dari diampunkan segala dosanya, ia juga akan dimasukkan ke dalam
syurga. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh At-Thabrani daripada
Abdullah bin Abas yang artinya : " Haji mabrur itu, tidak ada balasan
baginya melainkan syurga “.
PENGERTIAN
HAJI MABRUR
Haji
adalah ibadah khusus, salah satu di antara rukun yang ke lima. Sesuai
pengertian syara’, haji ialah mengunjungi Baitullah dalam bulan-bulan haji
kerana mengerjakan thawaf, sa’i dan wukuf di Arafah dengan syarat yang tertentu
dan menunaikan segala perkara -perkara yang wajib yang berkaitan dengannya.
Adapun perkataan "MABRUR" di segi pengertian bahasanya ialah
perbuatan yang tidak ada syubhat atau keraguan padanya atau hanya diartikan
dengan makna yang diterima. Makna Haji Mabrur pada istilah ialah haji yang diterima
dan balasannya yang luar biasa yaitu syurga, sedangkan kebalikannya ialah Haji
Mardud yaitu haji yang ditolak dan tidak diterima.
SYARAT-SYARAT
HAJI MABRUR
Untuk
mencapai tingkatan haji yang mabrur, tidak semudah seperti yang dibayangkan
tetapi tidak mustahil untuk mendapatkannya. Ia memerlukan beberapa syarat yang
tertentu berdasarkan masa-masa tertentu :
Sebelum
Menunaikan Haji
Ada
beberapa perkara yang seharusnya diperhatikan sebelum berangkat menunaikan
fardhu haji yaitu :
-
Niat : semata-mata karena Allah, jangan sekali dicampur-adukkan dengan perasaan
ria dan takabur. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
daripada Umar Al-Khattab yang artinya " Sesungguhnya segala perbuatan itu
bergantung kepada niat, dan sesungguhnya bagi setiap seorang itu apa yang
diniatkan "
-
Uang perbekalan/perbelanjaan : berasal dari sumber yang halal dan tidak
mengandung syubhat
-
Kewajipan yang sempurna : tidak memaksakan diri untuk menunaikan kewajiban haji
padahal ia belum mampu secara syar’i
HAJI
MABRUR DAN CARA MENCAPAINYA
Semasa
Mengerjakan Haji
Semasa
mengerjakan Haji juga perlu menjaga beberapa perkara :
-
Menyempurnakan segala rukun-rukun Haji
-
Menyempurnakan segala perkara-perkara wajib Haji
-
Membayar segala jenis dam yang dikenakan
-
Tidak melakukan larangan ketika berihram Haji seperti persetubuhan, kemaksiatan
dan kemungkaran. Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 197 yang artinya
: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”.
Setelah
Menunaikan Haji
Orang
yang telah menunaikan Haji, dianggap telah membersihkan dirinya daripada segala
dosa dan kesalahan, setelah menunaikan Ibadah Haji, khususnya setelah kembali
ke Tanah Air maka beberapa hal perlu diperhatikan :
-
Sentiasa menjaga diri dalam keadaan bersih dari segala noda dan dosa dengan
menjauhkan perkara-perkara mungkar yang dilarang.
-
Memperbanyakkan amal soleh untuk meningkatkan iman dan ketaqwaan
Memperbaiki
diri ke arah yang lebih sempurna di segi akhlak dan perbuatan
Dengan
terlaksananya segala apa yang diuraikan seperti di atas, maka besar kemungkinan
seseorang itu akan mencapai ke tahap Haji Mabrur yang diidamkan oleh setiap
pengunjung Baitullah. Amiin.
PELAKSANAAN
HAJI BAGI WANITA
Diriwayatkan
oleh Ibnu Khuzaimah di dalam kitab shahihnya, bahwa Sayyidah ‘Aisyah Ra.
Bertanya
kepada
Rasululllah SAW: “Ya Rasululllah! Tidak wajibkah bagi wanita turut berjihad
(berperang)?”
Jawab
Rasululllah SAW : “Jihad yang diwajibkan bagi mereka tidak berperang, tetapi
haji dan umroh”