Di antara
ciri-ciri program yang baik adalah :
1.
Planning
Perencanaan merupakan susunan langkah-langkah secara
sistematik dan teratur agar tujuan organisasi mudah tercapai
atau masalah mudah terpecahkan. Sebagian ahli mengartikan planning sebagai
upaya memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia dengan memperhatikan segala
keterbatasan guna mencapai tujuan secara efisien dan efektif.
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam
perencanaan dengan istilah SMART, yakni :
·
Specific
artinya ruang lingkupnya jelas.
·
Measureable
keberhasilannya terukur.
·
Achievable
artinya dapat dicapai bukan angan-angan
·
Realistic
artinya tidak terlalu mudah atau terlalu sulit.
·
Time
artinya jelas batas waktunya.
2.
Organizing.
Pengorganisasian diartikan membagi tugas-tugas pada
orang yan gterlibat dalam kegiatan tersbut sesuai dengan kemampuan SDM yang
dimiliki. Dalam pengorganisasian ada
yang disebut dengan staffing aksudnya penempatan orang
yang tepat pada tempat yang tepat dalam kegiatan (organisasi). Seorang
pemimpin harus mampu melihat dan memahami potensi SDM yang berkualitas dan
bertanggung jawab agar aktivitas roda organisasi tetap berjalan.
3.
Actuating.
Maksudnya penggerakan
semua yang terlibat dalam aktivitas organisasi untuk bekerja sama mencapai
tujuan.
Dalam
mengimplementasikan kegiatan, pelau organisasi harus :
1.
Merasa yakin
dan mampu melakukan suatu pekerjaan,
2.
Percaya
bahwa pekerjaan telah menambahkan nilai untuk diri mereka sendiri,
3.
Tidak
terbebani oleh masalah pribadi atau tugas lain yang lebih penting atau
mendesak,
4.
Tugas yang
diberikan cukup relevan,
5.
Hubungan
harmonis antar rekan kerja.
4.
Controlling
Mengendalikan dan mengawasi
pelaksanaan program dan
aktivitas organisasi , sehingga bila perlu dapat
mengadakan koreksi jika ada kekeliruan.
Seorang pemimpin harus mengetahui dan memahami
manfaat controlling, di antaranya adalah :
a)
Dapat mengetahui
sejauh mana program telah dilaksanakan
b)
Dapat
mengetahui adanya penyimpangan
c)
Dapat
mengetahui apakah waktu & sumber daya mencukup
d)
Dapat
mengetahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan
e)
Dapat
mengetahu staff yang perlu diberikan penghargaan/promosi
a)
Analysis
Program
Sebagaimana diketahui bahwa sebelum membuat
perencanaan, maka ada baiknya dilakukan prakiraan terlebih dahulu. Tujuannya
agar mengarahkan arah prigram sehingga akan mengurangi damp[ak penyimpangan
(margin error). Selain fokus terhadap tujuan, memperhatikan sumber daya yang
dimiliki, tidak kalah penting dalam hal ini, memahami dan menganalisis terlebih
dahulu program yang akan dibuat.Sebagian ahli manajemen menyebut dengan istilah
SWOT, yakni mensinergikan antara Strength (Kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (kesempatan)
dengan Threatment (ancaman atau hambatan).
Pertanyaannya kenapa perlu analysis? Karena dalam
pandangan umum suatu program akan berjalan secara efektif dan efisien apabila
kecenderungan penyimpangan arah diantisipasi lebih dini, sehingga diperluykan
analysis.
1.
Analisis
situasi & identifikasi masalah
2.
Menentukan
skala prioritas
3.
Menentukan
tujuan program
4.
Menyusun
rencana kerja operasional (termasuk didalamnya menyusun anggaran)
PEMBAHASAN
a)
Pesantren
sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam. Ada beberapa keunggulan pesantren
sebagai lembaga pendidikan dibanding lembaga pendidikan lain diantaranya :
1.
Pesantren
adalah bentuk dari lembaga dan model pendidikan khas serta asli Indonesia.
Metode sorogan, wetonan dan bandongan adalah khas metode pembelajaran yang
dikembangkan dalam pembelajaran di pesantren
2.
Kitab utama yang menjadi
rujukan dalam pembelajaran adalah kitab kitab klasik atau biasa yang disebut
kitab kuning. Jika dilacak hampir tidak adalembaga pendidikan lain selain
pesantren yang mengajarkan kitab-kitab klasik ini. Dengan menjadikan kitab
klasik sebagai rujukan utama, pesantren adalah lembaga yang berjasa
melanggengkan tradisi keilmuan Islam mulai dari awal.
3.
Bahwa pesantren
melaksanakan pendidikan secara komprehensif. Dipesantren, para santri tidak
hanya diajarkan ilmu agama, bahasa dan lainnya secara teoritik tetapi juga
disinergikan dengan praktek terhadap ilmu yang diajarkannya tersebut.Tradisi di
lembaga pendidikan kebanyakan adalah, pengajaran hanya sebatas diruang belajar,
selepas itu anak/siswa tidak dibebankan untuk menerapkan atau
mempraktekkan apa yang mereka telah pelajari. Di hampir semua sekolah
formal, pelajaran agama hanya sebatas teori semata. Hal ini dapat dimaklumi,
ketika siswa pulang ke rumah, tanggung jawab sekolah menjadi seolah-olah
terlepas terhadap apa yang menjadi perilaku siswa. Hal ini tidak demikian
terjadi di pesantren.
4.
Selain
penguatan terhadap penguasaan ilmu keagamaan Islam, pesantren juga terkenal
dengan penguatan kebahasaannya terutama bahasa Arab dan bahasa Inggris. Kedua
bahasa ini oleh pengasuh pesantren diwajibkan kepada santri untuk dikuasai
karena ia menjadi ilmu alat dan ilmu praktis yang dapat dimanfaatkan dalam
banyak hal. Hampir dibanyak pesantren, menjadikan terutama bahasa Arab sebagai
bahasa pengantar dalam pergaulan di lingkungan pesantren.
5.
Pendidikan dan
pembinaan dalam pesantren dilakukan 24 jam. Mulai dari bangun tidur hingga
tidur kembali, para santri diatur dengan tata tertib yang sangat ketat.
Disiplin waktu, berpakaian, mengerjakan tugas sekolah, disiplin ibadah,
disiplin berbahasa, etika pergaulan dan sebagainya, semuanya diatur dan wajib
ditatati oleh santri.
6.
Dalam
konteks pembinaan santri, para pengasuh santri baik kyai maupun ustadz dan
ustadzah turun langsung dalam melakukan pembinaan dan ini dilakukan
sepanjang waktu.
7.
Di beberapa pesantren saat ini
telah melakukan modernisasi system pendidikan. Jika pada awalnya
pesantren hanya mengajarkan keilmuan keagamaan, sekarang hak
tersebut diperkaya dengan pengembangan keterampilan dasar hidup (life
skil) seperti khattil qur’an
(menulis indah Al-Qur’an), Tahfizul Qur’an, Pelatihan manasik dan Tajhizul Janaiz,
kewirausahaan, computer dan lain sebagainya.
8.
Di pesantren, hubungan antar santri
terbangun secara egaliter. Tidak tampak
santri yang berasal dari keluarga berkecukupan dengan yang
tidak.
9.
Terlepas dari
sisi kekurangannya, di pesantren dikembangkan tradisi hormat
kepada kiai atau ustadz.
b)
Rekonstruksi
konsep Pondok Pesantren abad ini.
Peran Pesantren pada Abad 21 M memang harus
direposisi. Ia harus dapat melayani kebutuhan pendidikan ketika masyarakat
memerlukannya, terutama ketika lembaga-lembaga pendidikan modern yang pada
umumnya bersifat formal, belum mampu menembus kepelosok desa. Pada saat itu
dunia pesantren menjadi simbol yang menghubungkan dunia pedesaan dengan dunia
luar. Manifestasinya sebagai penghubung, tergambar dari pesantren yang beragam
dalam proses pembangunan masyarakat. Ada yang bergerak dalam bidang pendidikan,
ekonomi, pertanian, peternakan dan bimbingan moral atau kerohanian. Namun ada
persamaan karakteristik yang melekat pada pesantren, yaitu semua berangkat dari
sikap dan keyakinan agama, serta berbasis dan berorientasi pada kepentingan
masyarakat.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
dinamika perkembangan masyarakat yang sangat pesat pada beberapa dasawarsa
terakhir, memunculkan tuntutan-tuntutan baru dalam bidang pendidikan yang
semakin beragam. Keragaman tuntutan pendidikan tersebut pada 21 gilirannya
menimbulkan orientasi dan peran pesantren menjadi beragam pula. Identitas
pesantren yang pada awal perkembangannya merupakan sebuah lembaga pendidikan
dan penyiaran agama islam, kini identitas tersebut mengalami pergeseran sejalan
dengan perkembangan masyarakat. Walau demikian, pergeseran yang dialami
pesantren sama sekali tidak menjadikannya tercerabut dari akar kulturalnya.
Pesantren dengan karakteristik kemandirian dan
independensi kepemimpinannya tetap memiliki beberapa fungsi, diantaranya:
1.
Sebagai
lembaga pendidikan yang melakukan transformasi ilmu pengetahuan agama dan
nilai-nilai keislaman
2.
Sebagai
lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial
3.
Sebagai
lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial.
Sejalan dengan
paparan diatas, pesantren terlibat aktif dalam mobilisasi pembangunan
masyarakat desa, sehingga komunitas pesantren terlatih melaksanakan pembangunan
bagi kesejahteraan masyarakat yang menyebabkan terjalinnya hubungan yang
harmonis antara santri dan masyarakat, antara kiai dan kepala
desa. Sehubungan dengan fungsi dan peran pesantren tersebut, serta
karakteristik yang dimilikinya menjadikan pesantren sebagai sumberdaya lokal
sekaligus sebagai modal sosial lokal yang setrategis dalam upaya membangun
masyarakat.
Dikatakan
strategis, karena pesantren dan kiai dipandang sebagai “setali tiga uang”
dengan masyarakat tradisional pedesaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa pesantren
menjadi pusat aktifitas masyarakat kepesantrenan, dimana kiyai, keluarga
pengurus, para ustadz, santri dan keluarganya serta penduduk disekitar
pesantren mempunyai sistem relasi yang tertata apik.
c)
Peran dan
fungsinya sebagai pusat studi masyarakat
Fungsi atau peran pesantren terhadap perjalanan bangsa
dan masyarakatnya dapat diformulasikan dalam beberapa konsepsi.
Perlu diperhatikan bahwa pesantren memiliki dua
fungsi substantif.
1.
Pesantren adalah
sebuah lembaga pendidikan yakni melaksanakan proses edukasi dengan
tujuan utamanya melahirkan ulama yang intelek
2.
Pesantren adalah
sebuah lembaga sosial kemasyarakatan yakni mencoba menjadi lembaga
yang memberikan manfaat bagi masyarakatnya.
3.
Sebagai lembaga
sosial pesantren berikhtiar menjadi institusi yang memberdayakan masyarakat
baik melalui kegiatan keagamaan, kegiatan perekonomian maupun
kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Selain dua fungsi di atas, pesantren juga
berekspresi secarap positif terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di
sekitarnya.
Respon-respon pesantren
kemudian bermuara pada terbentuknya karakter masyarakat yang lebih baik dan
struktural.
Pertama, pesantren
menyikapi persoalan-persoalan aktual dengan luwes dan fleksibel.
Kedua,
pesantren dapat menjadi lembaga yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat dalam bidang ta’lim, ubudiah dan mu’amalah.
Sehingga peran serta di masyarakat dapat terasa baik secara kecerdasan induvidu
maupun sosial.
Salah satu
prinsip primordial yang tetap dipegang oleh kalangan pesantren adalah kaidah “al-muhafadzah
ala al-qadim al-salih wa al-ahzu ala al-jadid al-aslah” (mempertahakan
warisan yang baik dan mengambil kepada sesuatu yang lebih baik). Pesantren
memiliki dinamika yang seimbang dalam melihat sebuah kejadian yang sedang
booming (Pangeran S. Naga.P, 2010).
d)
Pesantren
sebagai mitra dalam pengembangan ekonomi umat
Pemberdayaan ekonomi masyarakat secara sepintas bukan
merupakan tanggung jawab dari lembaga pendidikan seperti pondok pesantren.
Namun, ketika menyimak kembali ajaran agama yang diperoleh dari pesantren,
khususnya engenai tolong-menolong dalam
kebaikan, pesantren memiliki tanggung jawab yang sama dengan
institusi-institusi lainnya.
Sikap sensitivitas terhadap kondisi perekonomian
yang dihadapi masyarakat khususnya yang ada di sekitar pesantren. Hal yang
biasanya dilakukan oleh pesantren adalah dengan melakukan
pemberdayaan terhadap santri mereka dengan cara memberikan keterampilan dasar
yang dapat menopang ekonomi saat santri telah keluar dari pesantren (Irwan
Abdullah dkk, 2008).
Tetapi
fakta kadang berkata lain. Di banyak pesantren di wilayah Indonesia ini,
menunjukkan bahwa kehidupan social ekonomi masyarakatnya masih banyak yang
belum berkecukupan (untuk tidak mengatakan miskin). Dalam penelitian yang
dilakukan M.Murtadho diungkapkan, di Pandeglang terdapat 313 pondok pesantren,
terdapat 3 perguruan tinggi agama dan ditambah berpuluh-puluh majelis taklim
atau kelompok pengajian, tetapi realitas yang ada adalah keadaan masyrakat
masih terkesan tradisional dan masih jauh dari kesan maju. Fakta ini tentu
menjadi ironi, bukankah dalam agama terdapat spirit yang mengajak ummatnya
untuk maju, terbebas dari penindasan dan lain sebagainya. Tetapi kadang memang
terdapat alibi, bahwa pesantren adalah sebuah lembaga yang secara khusus hanya
melakukan transfer pendidikan.
Urusan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan umat biarlah menjadi urusan pihak
lain semisal pemerintah. Pesantren cukup pada urusan pembangunan mental dan
spiritual ummat. Terlepas dari hal itu, sebenarnya kita juga tidak dapat
memungkiri bahwa lembaga pendidikan agama adalah lembaga yang melakukan
transfer nilai agama dan pada salah satu aspeknya bahwa agama sangat mendorong
dan memotivasi ummatnya agar maju dan tidak terbelakang.
Oleh sebab
itu suka atau tidak suka pesantren sebagai lembaga pendidikan agama memiliki kewajiban
melakukan pemberdayaan masyarakatnya. Dalam Murthado, jika diklasifikasikan
terdapat dua paradigma dominan dalam melihat peran serta pesatren dimasyarakat.
Pertama adalah paradigma pesantren sebagai lembaga keulamaan. Dalam
konteks ini pesantren dipahami hanya sebagai tempat pengajaran
dan pembelajaran agama untuk untuk mencetak para calon ulama.
Kedua adalah pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Paradigm
kedua adalah pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat. Paradigma ini
beranggapan bahwa pesantren merupakan lembaga yang pantas dan strategis untuk
pengembangan masyarakat. Pesantren dianggap mempunyai elastisitas yang tinggi
dalam membentuk masyarakat dan mempunyai bahasa yang lebih dapat diterima
dimasyarakatnya. Jika berangkat dari paradigma kedua, maka ruang pengabdian
pesantren kepada masyarakat menjadi lebih luas. Terdapat dua pola yang
diterapkan pesantren ketika menjadi pusat pengembangan ekonomi yaitu: pola
pengembangan yang berpusat pada santri dan pengembangan yang berpusat pada
masyarakat terutama masyarakat sekitar. Pada pola pertama, dibeberapa pesantren
membuat program tambahan berupaka keterampilan interpreneur bagi santrinya.
Tujuannya tentu selain memberikan bekal keagamaan, santri diharapkan punya
skill untuk mereka kembali ke dunia masyarakat. Skill enterprenuer tersebut
misalnya menjahit, berkebun, beternak, perikanan, sablon, komputer, seni
kaligrafi, dan lain sebagainya. Pola kedua adalah, pesantren benar-benar
menjadi pusat pemberdayaan masyarakat dimana ia berada.
Pada aspek
ini pesantren tidak hanya mengelola bidang pendidikan bagi santrinya, tetapi
pesantren juga menggarap kegiatan ekonomi yang melibatkan masyarakat. Tujuannya
ada dua, yakni internal dan eksternal. Tujuan internal tentu saja dengan
mengelola kegiatan ekonomi diharapkan pembiayaan pesantren yang besar dapat
tersubsidi dari bidang ini.
Sementara tujuan
eksternalnya adalah agar masyarakat mendapat manfaat lain dengan kehadiran
pesantren terutama ekonomi. Efek ekonomis dari kegiatan ekonomi itu misalkan
perputaran uang yang terjadi dilingkungan pesantren itu menjadi lebih besar dan
banyak, dan terutama banyak melibatkan unsur masyarakat didalamnya.
Di beberapa
pesantren ada yang memiliki sawah hingga puluhan hektar, ada yang memiliki
kebun teh, kebun kakau, ada yang memiliki peternakan sapi dan kambing, keramba
ikan dan lain sebagainya. Kegiatan ekonomi ini sangat membantu kelangsung biaya
operasional sehari-hari dan sekaligus membantu perekonomian
masyarakat sekitar juga.
Strategi
kewirausahaan dan pengembangan ekonomi umat merupakan langkah-langkah pokok
yang perlu ditempuh oleh Pimpinan Pontren dalam menjadikan Pontrennya sebagai
organisasi yang bersifat kewirausahaan.
Menurut Lupiyoadi
dan Wacik sebagaimana dikutip oleh Johar Permana dan Dharma Kesuma (2008)
mengemukan strategi kewirausahaan mencakup pengembangan visi, dorongan inovasi,
dan penstrukturan iklim kewirausahaan.
Dalam sebuah
kunjungan kalau bukan disebut studi banding ke PP Darunnajah. Didapat beberapa
indikator peran serta pesantren di tengah-tengah masyarakat sebagai komunitas
pondok secara eksternal namun mampu memberi sumbangsih kepada pihak pondok.
Masyarakat
merasakan kehadiran Pesantren seakan menjadi jembatan yang menyatukan mereka
menjadi satu keluarga. Dari sanalah terjadi hubungan timbal balik yang saling
membutuhkan satu sama lain(simbiosis mutuaisme).
1)
Pesantren yang Berbasis
pada Pengembangan Imtak dan Iptek Abad 21 dan Pelestarian
Budaya serta Kearifan Lokal.
Perbincangan
tentang budaya dan kearifan lokal telah menjadi isu penting di Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir ini. Munculnya isu tentang budaya dan kearifan lokal
tersebut, di samping faktor lainnya, didorong oleh semakin berkembangnya isu
globalisasi. Lokalitas kemudian dibicarakan dengan isu globalisasi tersebut
dari berbagai aspek. Seiring dengan pertemuan antara nilai-nilai globalisasi
dan nilai-nilai lokal, Hommy K. Babba (1994) kemudian mempekenalkan istilah
glocalization atau glokalisasi sebagai salah satu dari bukti tentang kajian
keduanya. Menurutnya, lokalisasi adalah sebuah proses pembauran
antara nilai-nilai global dan lokal yang terjadi pada berbagai aspek kehidupan
masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang yang cenderung berhadapan
dengan invasi modernitas sebagai agen globalisasi.
Di
Indonesia, interaksi antara nilai-nilai global dan lokal terjadi hampir di
seluruh lapisan masyarakat, termasuk di Sukabumi, Jawa Barat.
Salah satu
bentuk interaksi tersebut adalah dengan menguatnya budaya dan kearifan lokal
Kelurahan Karamat Kecamatan Gunungpuyuh, Kota Sukabumi Utara. Untuk lebih jauh
membahas budaya dan kearifan lokal Kota Sukabumi
sebagai salah kota santri dan warisan pendiri para pejuang
kemerdekaan RI, terlebih dahulu perlu dipaparkan mengenai konsep
kearifan lokal, globaliasi dan lokalisasi. Pemaparan tersebut paling tidak
dapat menjadi bingkai alternatif untuk memahami pentingnya memperkenalkan
budaya dan kearifan lokal Kelurahan Karamat – Gunungpuyuh, Sukabumi Utara
ke dalam khazanah akademik. Pembahasan akademik tersebut pada gilirannya
dapat menjadi ide pendorong usaha inventarisasi, revitalisasi, dan improvisasi
dari nilai-nilai budaya dan kearifan lokal dalam tata kemasyarakatan modern
di Sukabumi khususnya dan di Jawa Barat pada umumnya.
Budaya
merupakan bahasan yang telah lama dibicarakan dalam berbagai kajian, utamanya
dalam ranah kajian antropologi. Dengan memperhatikan dan menghimpun pendapat
para ahli antropologi terkemuka seperti William Haviland, Bronislaw Malinowki,
EB Taylor, A.L Krober, Ralph Linton, Clyde Clukhon, Reger K Kessing,
Kuntjaraningrat, dan Irwan Abdullah, Zaenuddin Prasojo (2013:18-19) menjelaskan
bahwa kebudayaan atau budaya mengandung tiga peran penting yaitu budaya
sebagai sistem makna, budaya sebagai hasil belajar, dan budaya yang didasarkan
pada simbol-simbol. Dengan demikian, budaya dan atau kebudayaan merupakan
nilai yang berasal dari proses kehidupan manusia dalam bermasyarakat yang
memiliki kecerdasan-kecerdasan yang bersumber dari nilai-nilai tersebut. Jika
demikian, suatu kebudayaan sangat terkait dengan masyarakat.
Oleh karena
itu pula, kecerdasan yang ada dalam kebudayaan tersebut menjadi kearifan yang
penting bagi masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut pula. Kearifan lokal
yang menjadi istilah penting dalam pembahasan kebudayaan juga lahir dalam
kerangka proses perkembangan kebudayaan yang cenderung reproduktif. Irwan
Abdullah (2010:42) menyatakan bahwa diskusi dan penelitian mengenai proses
reproduksi kultural atau budaya yang menyangkut kebudayaan asal dan pemaknaan
kembali kebudayaan asal tersebut penting untuk dikembangkan karena masih belum
terlalu diperhatikan.
Kearifan lokal,
dengan demikian, merupakan nilai-nilai unik yang berasal dari sebuah kebudayaan
masyarakat yang dapat menjadi ciri kebudayaan terebut dan dapat
menjadi inspirasi bagi masyarakat lain.
2)
Sejarah Budaya
dan Kearifan Lokal Kelurahan Karamat-Kecamatan Gunungpuyuh
Kasepuhan
Ciptagelar terletak di Kampung Ciptagelar yang berada di kawasan Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat; atau tepatnya di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia misalnya, memiliki kearifan
lokal yang baik dan penting bagi mereka seperti gotong royong dan jiwa karsa
yang kuat. Jika Abah Anom sebagai kasepuhan memberikan sumbangan 100 truk batu
untuk membangun jalan maka masyarakat desa tersebut akan bergotong royong untuk
membangun jalan desa dan melakukan iuran sehingga jalan di seluruh desa
tersebut seluruhnya layak untuk dilewati oleh kendaraan.
Hal ini
akan menjadi berbeda jika bantuan aspal dan pasir tersebut diberikan kepada
masyarakat sebuah desa di Kelurahan Karamat, misalnya. Belum tentu pekerjaan
pengaspalan jalan berjalan dengan baik karena nilai budaya di Kelurahan Karamat
berbeda degan nilai budaya mayarakat Kasepuhan Cipta Gelar. Kearifan lokal
sebuah masyarakat belum tentu juga dapat berlaku pada masyarakat lain yang
berbeda.
Namun ada
juga kearifan lokal dari sebuah budaya masyarakat yang dapat berlaku di tempat
lain. Panganan Mocci Kaswari misalnya, yang menjadi kearifan lokal mayarakat Sukabumi
telah mampu menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia bahkan bersaing di
kancah Internasional. Kearifan lokal panganan tersebut telah menjadi
inspirasi kuliner tidak hanya pada masyarakat Sukabumi tetapi juga luar negeri
seperti di luar negeri.
Bagaimana
dengan budaya dan kearifan lokal Kelurahan Karamat –
KecamatanGunung Puyuh?
Kajian ini
merupakan sebuah usaha inventarisasi dan untuk melihat proses revitalisasi
budaya Kelurahan Karamat yang ternyata memiliki kearifan yang penting bagi Masyarakat
Sukabumi khususnya dan bagi Masyarakat Jawa Barat pada umumnya. Budaya Karamat
meliputi beberapa tokoh-tokoh dan terdapat situs penting dengan sejarah yang
menyertai mereka.
Tokoh dan
Simbol Kearifan Lokal Kelurahan Karamat.
Setidaknya
ada tokoh utama dan simbol penting dalam proses perkembangan budaya dan
kearifan Kampung Karamat.
1.
Abuyya
Thayyib.
Beliau adalah seorang ulama yang memiliki andil
penting dalam sejarah perkembangan Islam di Gunungpuyuh, khususnya di
wilayah Karamat dan sekitarnya.
Kiprah beliau menjadi inspirasi bagi banyak orang,
termasuk mubaligh dan ulama setempat. Karena kealiman dan ulamaannya, tokoh yang
juga dikenal dengan Engking ini memiliki murid yang banyak yang ingin belajar
untuk menuntut ilmu agama Islam dan ilmu kehidupan lainya. Cerita tentang
perjuangannya dari beberapa keluarga dan muridnya yang menjadi pangkal cerita
budaya Kampung Karamat dan menjadi pegangan bagi masyarakat.
Kedekatan belaiu dengan H. Lathief dan Ma Erum menjadi wasilah berdirinya sebuah pondok psantren Dzurriatan Thayyibah, yang
mana pondok ini diasuh oleh Kyai Haji Mulyadi, warga sekitar menyebut Abah
Iyad. Beliau adalah menantu dari Engking Thayyib tersebut karena putrinya yang
bernama Dedeh menikahi Abah.
Perjalanan selanjutnya, kifrah pondok tersebut
bermetamorfosa menjadi pondok modern Hayatan Thayyibah.Yang diasuh oleh Prof.
KH. Solahuddin Sanusi.
2.
Karamat Randu.
Merupakan nama sebuah Sekolah Dasar Negeri
(SDN) yang penting dalam kisah budaya Karamat dan menjadi simbol utama
budaya tersebut. Randu adalah sebuanh pohon yang biasanya digunakan untuk
menyepi seorang tuan Guru yang menjadi pemimpin spiritual
dan penjuang kemerdekaan yang namanya tidak disebutkan. Beliau
sengaja membuat tempat peristirahatan di tengah-tengah kampung Karamat, agar
setiap orang yang datang ke sana bisa mampir ke tempatnya. Sampai hari ini,
pohon tersebut dijadikan salah satu ikon sejarah Karamat Randu.
3.
Sungai
Cipelang dan Cipada.
Salah satu kekayaan yang jarang dilirik oleh masyarakat
adalah optimalisasi manfaat dan fungsi sunagi bagi kehidupan. Sungai Cipelang
dan Cipada berawal dari Cinangka dan Cisepan dan berakhir di wilayah yang
dikenal dengan nama Sungapan. Untuk beberapa kampung yang masih memiliki lahan
sawah dan perkebunan kedua sungai ini mejandi penopang kelangsungan pertanian
dan perkebunan karena kedua sungai ini airnya hampir mengalir sepanjang tahun.
Sekitar tahun 1970 – 1997 Sungai tersebut sebagai pilar utama budaya Karamat memiliki nilai strategis bagi kehidupan masyarakat
bertani dan berkebun. Dalam sejarahnya, melalui sungai inilah para pendiri
Pesantren Hayatan Thayyibah mendapatkan inspirasi dan titik terqang
pembangunan sebuah. Sungai Cipelang dan Cipada merupakan salah satu
urat nadi kehidupan masyarakat pada saat itu karena memiliki nilai hitoris,
sosiologis, dan bahkan ekonomis bagi mayarakat Kampung Karamat.
4.
Para
Pelopor Perintis Pesantren Hayatan Thayyibah
Prof. KH. Solahuddin Sanusi, KH Mulyadi, H. Solihin
Adi Saputra, SE, KH. A. Dzaki Salim, MA., KH. Yusuf Asy’arie
dan Dr. H. Toto Pribadi
Salah satu tokoh masyarakat dan Ulama yang berpengaruh
terhadap perkembangan kampung Karamat dan Pondok Pesantren Hayatan
Thayyibah khususnya adalah KH. Mulyadi. Beliau adalah salah satu
menantu dari KH. Abuyya Thayyib atau Engking yang disebutkan di atas.
Karena sepak terjangnya yang berani dengan ditemani oleh keponakannya Ustadz
Muhtar, S.Ag, M.Pd beliau merintis sebuah Pondok Pesantren yang bersifat
konservatif dengan nama Dzurratun Thayyibah.
Namun, atas dukungan warga dan keluarga beliau
mendapat tempat untuk membuka pintu dakwah sehingga beliau menggalang dana
dengan H.. Solihin Adi Saputra , SE untuk merintis sebuah Yayasan Abul Yatama
yang bergerak di bidang Pendidikan, Sosial, Ekonomi dan Kesehatan. Perlu diketahui, bahwa Haji Solihin adalah adik dari KH. Mulyadi. Hanya saja ayahnya berbeda dari satu ibu dengan KH. Mulyadi. Adapun ayah H. Solihin adalah Ma'ad Bin Enen.
Sebelum mewujudkan rencana tersebut H. Solihin Adi
Saputra, SE membangun sebuah Masjid Jami’ pertama terbesar di Kecamatan Gunung
Puyuh, dengan nama Abdurrahman Bin ‘Auf yang dijadikan sebagai pusat Pembinaan
Masyarakat dan Dewan Silaturahmi para alim ulama di se-Kokab Sukabumi.
Seiring dengan kebutuhan dalam melebarkan pintu dakwah
diberbagai bidang akhirnya pula Pondok Pesantren hayatan Thayyibah,
o
Bidang
Pendidikan Keagamaan dikelola oleh Prof. KH. Solahuddin sanusi, Ustadz Jayadi
Sutedja dengan H. Juansih, S.Ag
o
Bidang
Pendidikan Formal dikelola oleh Drs. KH. Yusuf Asy’ariy
o
Dibidang
Ekonomi kerakyatan dan perbankan didirikan Yayasan Abul Yatama, dan
o
Bidang
Kesehatan dikelola oleh Grup Metro Ikhlas, Jakarta.
Setelah berkembang, tahun demi tahun, pengelolaan
semua sektor tersebut diambil alih oleh Keluarga Besar Tommy Suharto dengan
Yayasan Bimantara. Seiring waktu yayasan tersebut kemudian dialihkan kepada
Yayasan Amal Ikhlas , Jakarta.
5.
Masjid Jami
Abdurrahman Bin ‘Auf
Sejak
pertama dibangun sekitar tahun 1990 sampai dengan 1997 masjid terebut telah
mengalami 2 kali perubahan. Tanah yang diwaqafkan dari H. Thoha tersebut
selanjutkan dijadikan beberapa lokal dalam pelayanan masyarakat di antarnya
adalah Poskestren dan Klinik Amal Ikhlas untuk pelayanan kesehatan secara
gratis.
3)
Revitalisasi Kesenian
Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal
Usaha untuk
inventarisasi kesenian yang berbasis pada budaya dan kearifan Desa Karamat
telah dilakukan oleh Pondok Pesantren Hayatan Thayyibah sebagai salah satu komponen
penting masyarapat Karamat. Bahkan, Pondok Pesantren Hayatan Thayyibah telah
mampu menginisiasi untuk proses inventarisasi tersebut.
Bidang-bidang
kesenian yang dikembangkan dan diinventarisir di antaranya adalah :
1.
Muhadloroh
2.
Pembiasaan
Bahasa Asing yakni Bahasa Arab dan Bahasa Inggris.
3.
Hadlroh
4.
Marawis
5.
Nasyid
Acapella
6.
Seni
Angklung
7.
Seni Penca
Silat Tenaga Dasar
8.
Seni
Qiro’ah al Qur’an
9.
Seni
Membaca Al Hadis
Inventarisasi
tersebut telah dipublikasikan, di antaranya :
1.
Inisiasi Lomba
antar Pelajar se-Kokab Sukabumi tingkat SMP dan SMA dibidang oleh raga yang
populer di kalangan remaja seperti Futsal dan Basket, di bidang seni seperti
Drama Singkat (short movie), Nasyid acapella, pidato atau Muhadloroh, Melukis
dan Kaligrafi, Debat bahasa Inggris, Tahfizul qur’an dan Cerita Islami.
Sehingga di beberapa event Pondok Pesantren Hayatan Thayyibah dijadikan sebagai
pusat pelatihan MTQ tingkat provinsi.
2.
Selain melalui
publikasi Karya Seni dan Olah Raga, hasil olahan (kuliner) pun terus berinovasi
seperti minuman ekstrak markisa dan yagurt handmade. Usaha sosialisasi yang
terencana dan terukur melalui publikasi tulisan akan mendapatkan hasil yang
signifikan.
3.
Situs-situs yang
ada di Desa Karamat perlu diaktualisasikan dan dilestarikan. Situs-situs
tersebut adalah maqam “Karamat Randu”, masjid “Abdurrahman Bin ‘Auf”, dan
sungai”Cipelang dan Cipada) yang memebelah pondok Pesantren Hayatan Thayyibah.
4.
Hadrah atau
kesenian Duffuf atau marawis ini sebenarnya merupakan kesenian yang lazim
ditemukan di lingkungan pesantren. Dalam budaya Pondok, kesenian hadrah juga
berkembang dengan baik. Pesantren hayatan Thayyiabh telah lama memiliki
kelompok kesenian Hadran. Anggotanya juga berasal dari kalangan ustadz dan
santri.
5.
Muhadloroh atau
Pentas Pidato.
6.
Seni
Angklung
7.
Bela diri
Penca Silat Tenaga Dasar (PSTD)
8.
Penutur
Cerita Rakyat cerita yang khas tentang asal muasal Maqam Karaat Randu, Gua
Monyet dan Gulung Kasur. Dapat dikatakan bahwa peminat cerita rakyat tersebut
nyaris tidak ada karena penutur cerita tersebut sebagai saksi sejarah hanya
terbatas pada tokoh-tokoh tua saja.
9.
SAPALA
kepanjangan dari Santri Pecinta Alam. Mungkin sebagian kecil peserta atau
anggota SAPALA tersebut, yakni di anataranya terdiridari para santri dan
asatidz yang masih kuat untuk mengadakan hiking dan menaiki gunung.
10. Seni Qiro’ah al Qur’an.
11. Seni Membaca Al Hadis.
PROGRAM KERJA BIDANG KEASRAMAAN
SMA PESANTREN TERPADU
HAYATAN THAYYIBAH
2019
PROGRAM KEASRAMAAN
1) Kepesantrenan
dan Kajian Kitab
2) Mukhoyyam
al Qur’an
3) Pelatihan
Sholat Khusyu’
4) Seminar
“Belajar Cepat Mebaca Kitab Kuning.”
5) Buka
puasa bersama dan ta’zil on teh road
6) Lomba-lomba
a.
Muhadloroh
b.
K3
c.
Bakti
Sosial
d.
Haiking dan
tadabbur alam
e.
Olah raga
pagi setiap hari ahad
f.
Musabaqah Tilawah
dan Tahfizul al Qur’an
g.
Menulis
Kandungan al Qur’an
7) ESQ
(pembinaan santri tiap pekan).
8) Pelatihan
Hypnoteraphy (merubah mind set ke arah positif).
9) PHBI
Isra wal
Mi’raj
Idul Adlha
Tahun Baru
Muharram
Maulid Nabi
Muhammad Saw.
10)
Membuka
program Takhashush yakni Program Tahfizul Qur’an kelas Tafawwuq selama 1 tahun
dan mendalami ilmu Hadis, Qiro’ah bersanad dan Imla’iyah.
11)
Tadabbur
alam, yakni kegiatan mengisi masa libur dengan mendaki gunung atau baksos.
12)
Dauroh
Qur’an yakni pemantapan dan pendalaman ulumul qur’an dan cara cepat mengahafal
al Qur’an.
13)
Seminar
Pelatihan Ruqiyah.
14)
Ijazah
Metode Belajar Tajwid bersanad
15)
Sertifikasi
al Qur’an yakni ijazah al Qur’an
16)
Pentas malam
Kreasi Seni Santri, malam keakraban antara angkatan.
17)
Amaliah
tadris utk kelas XII sebagai syarat kelulusan
18)
Praktikum
menjadi imam sholat
19)
Menggagas
santri peduli pondok pesantren yang secara struktural berada di bawah mudabbir
(wali asrama).
20)
Program
pembelajaran berbasis kebutuhan dasar santri sesuai dengan sunah Nabi Saw., mulai
gerakan, bacaan dan makna.
Lampiran 1 :
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ
TIGA CIRI ORANG YANG MEMILIKI
SIFAT IKHLAS
Dzun Nuun Al-Misri
menyebutkan tiga ciri tanda seorang manusia memiliki sifat ikhlas:
1. Tetap merasa sama
antara pujian dan celaan orang lain.
2. Melupakan amalan
kebajikan yang dulu pernah diperbuat.
3. Mengharap balasan
dari amalan di Akhirat (dan bukan di dunia).
[At Tibyan fi Adabi
Hamalatil Qur’an, An Nawawi, hal. 50-51, Maktabah Ibnu ‘Abbas, cetakan pertama,
tahun 1426 H]